Upacara sedekah bumi
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Bersyukur
kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada
seluruh umat manusia, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya
dan Allah juga yang telah menjaganya, dengan berbagai perubahan musim
yang telah mempengaruhi siklus bumi agar seimbang dan berbagai fenomena
Alam lain yang kadang manusia tak dapat menyadari bahwa semua itu
menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Oleh karena itu, salah
satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan bumi
dengan segala isinya yaitu dengan melaksanakan ritual upacara sedekah
bumi.
Upacara
Sedekah bumi merupakan sebuah ritual yang biasanya di lakukan oleh
masyarakat jawa, sedekah bumi berarti menyedekahi bumi atau niat
bersedekah untuk kesejahteraan bumi. Bersedekah adalah hal yang sangat
di anjurkan, selain sebagai bentuk dari ucapan syukur atas segala nikmat
yang telah di berikan Allah, bersedekah juga dapat menjauhkan diri dari
sifat kikir dan dapat pula menjauhkan diri dari musibah. Melihat dari
semua itu, sungguh sangat perlu untuk melaksanakan ritual sedekah bumi.
Bumi yang hakikatnya sebagai tempat hidup dan bertahan hidup bagi semua
makhluk yang ada didalamnya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang
sejatinya adalah khalifah atau pemimpin di muka bumi ikut menjaga dan
mendo’akan agar keselamatan dan kesejahteraannya terjaga. Bila bumi
sejahtera, tanah subur, tentram, tidak ada musibah, maka kehidupan di
bumi pun akan terjaga dan manusia pun pada akhirnya yang memetik dan
menikmati kesejahteraan itu.
Masyarakat
Desa Mayong kidul sebagian besar masih peduli pada pelaksanaan
upacara-upacara adat, mereka masih meyakini akan manfaat dari
pelaksanaan upacara adat yang sudah terselenggara sejak zaman dahulu,
sehingga mereka masih melestarikan upacara-upacara adat. Salah satu
upacara adat yang masih dilestarikan adalah upacara adat Sedekah Bumi.
Yang menarik untuk dikaji dari upacara adat Sedekah Bumi ini adalah
terjadinya akulturasi budaya antara Islam dan budaya Jawa setempat.
Berangkat
dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya adanya penelitian tentang
salah satu bentuk ungkapan budaya daerah yang masih dilakukan
sekelompok masyarakat terkait dengan upacara tradisional yang patut
untuk dilestarikan agar tidak hilang ditelan oleh kemajuan zaman.
Penelitian ini diberi judul Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Kecamatan Mayong, Jepara.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk
lebih mengarahkan pada penelitian ini, maka perlu adanya ruang lingkup
penelitian. Adapun batasan dalam penelitian ini adalah deskripsi upacara
adat Sedekah Bumi yang meliputi prosesi pelaksanaan upacara, tujuan
upacara, manfaat upacara, serta pihak-pihak yang terlibat dalam upacara.
Sedangkan yang berkaitan dengan pembahasan atau analisis hanya mencakup
mengenai tujuan, simbol dan makna upacara bagi masyarakat, dan
nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Bertitik tolak dari ruang lingkup penelitian, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa diadakan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara?
2. Bagaimana bentuk pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara?
3. Apa Manfaat pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi menurut masyarakat Mayong kidul, Jepara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan latar belakang pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara.
b. Untuk mendeskripsikan bentuk pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara.
c. Untuk mengungkap manfaat pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi menurut masyarakat Desa Mayong kidul, Jepara.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan :
Menjadi tambahan pustaka terhadap wacana sejarah dan budaya tradisional Indonesia
b. Bagi penelitian ilmu pengetahuan :
Menjadi bahan penelitian lebih lanjut untuk menganalisa pelaksanaan ritual Upacara Sedekah Bumi dan Pengaruhnya bagi masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi masyarakat setempat dalam memahami Upacara Sedekah Bumi.
b. Bagi peneliti :
Untuk
menambah wawasan, pengetahuan dan informasi mengenai Upacara Sedekah
Bumi sebagai salah satu budaya asli Indonesia yang harus dilestarikan.
BAB II
KAJIAN TEORI
Warga
Desa Mayong kidul, Jepara menggelar upacara Sedekah Bumi. Warga
beramai-ramai membuat seserahan serta tumpeng buah dan nasi sesuai
tradisi nenek moyang. Sekitar pukul 09.00 WIB warga terlihat
berduyun-duyun memenuhi kawasan Mayong kidul. Warga yang didominasi para
ibu-ibu ini membawa berbagai seserahan yang dibungkus kain. Isinya
berupa makanan siap santap, seperti nasi kuning, roti, bahkan pisang
ataupun buah-buahan untuk ditukar kepada seserahan warga lainnya.
Menurut bapak Sudirman (46)[1]
“Sedekah bumi adalah sebuah upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat
Jawa, yang pelaksanaannya diikuti oleh seluruh warga desa dan setiap
masing-masing orang membawa “berkat” atau sebuah nasi dengan lauk
pauknya dari rumah. Kemudian warga berkumpul di “Balai desa”. Menurut
bapak Sudirman Pada zaman dahulu sebelum ada “Balai Desa” Upacara
sedekah bumi dilaksanakan di rumah kepala desa/Lurah, tetapi ketika
sudah ada “Balai Desa” maka acara dilaksanakan di “Balai desa”. “balai
desa” adalah sebuah tempat yang dipergunakan oleh perangkat desa untuk
melayani administrasi warga dan dipergunakan warga masyarakat untuk
berkumpul ketika akan mengadakan musyawarah desa. Tradisi sedekah bumi
ini rajin digelar warga setiap setahun sekali yaitu Sedekah bumi
dilaksanakan pada bulan “Apit” atau Dzul Qa’dah yaitu menurut
penanggalan masehi jatuh pada bulan oktober sesudah tanggal 10, namun
bisa disesuaikan dengan waktu panen raya.
Tujuan
dari dilaksanakan upacara sedekah bumi supaya keselamatan dan
kebahagiaan dunia akhirat menyertai seluruh warga desa mayong kidul dan
sekitarnya. Bapak Sudirman menuturkan bahwa Menurut kepercayaan orang
Jawa Sedekah bumi harus dilakukan dengan tujuan untuk “menyelameti” atau
“menyedekahi” sawah yang dimiliki, agar hasil pertanian melimpah, maka
bumi yang mereka tanami tersebut harus diselameti agar tidak ada
gangguan. “Karena, segala rezeki yang kita dapat itu tidak hanya berasal
dari kita sendiri, melainkan lewat campur tangan Tuhan,”[2]
kata Ketua Panitia Sedekah Bumi, Wayan Runtun Aribawa (59) saat ditemui
di lokasi, Jum’at (14/10/2011). Pria ini telah 10 tahun berturut-turut
mengawal sedekah bumi, warga diajarkan untuk terus mendekat pada Tuhan.
Menurutnya, rezeki itu tidak semata uang, tapi juga kebahagiaan,
kenyamanan dan keamanan berkehidupan dalam masyarakat. Upacara sedekah
bumi menurut kepercayaan di Desa Mayong kidul, wajib dilaksanakan setiap
tahun sekali. Biasanya dengan melaksanakan upacara sedekah Bumi
dipercaya akan mendatangkan kebaikan. Kami percaya bahwa bumi yang
ditempati akan aman dan tidak terjadi bencana, Apabila “diselameti”.
Tutur bapak Wayan.
Ketika
bapak Sudirman ditanya mengenai apakah tradisi sedekah bumi ini
bertentangan dengan ajaran syariat islam, menurut beliau tidak,
dikarenakan meskipun upacara sedekah bumi ini merupakan warisan tradisi
leluhur yang selalu dilaksanakan secara turun temurun setiap tahun namun
substansi dari upacara sedekah bumi ini tidak bertolak belakang dengan
ajaran Agama Islam, yaitu sebagai bentuk syukur terhadap anugerah yang
telah Allah berikan. menurut kepercayaan kami “Upacara tersebut
dilaksanakan untuk mengucap rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil bumi
yang telah diberikan kepada Kami setiap tahun. Karena mayoritas mata
pencaharian di desa kami adalah bertani. Disamping itu, Kita juga harus
bersahabat dengan Alam dan dari hasil Bumi itulah kita memperoleh
rezeki. Ini mengingatkan kami, bahwa bumi beserta alam seisinya adalah
milik Allah SWT, dan di bumi inilah Kami menjalani kehidupan.” Tutur
bapak Sudirman.
Selanjutnya
ketika ditanya apakah tradisi ritual sedekah bumi masih relevan dengan
kehidupan saat ini yang sangat moderen, Menurutnya masih, Karena Upacara
Sedekah Bumi sudah menjadi tradisi di desanya dan masyarakat Jawa pada
umumnya. Mezkipun di era zaman modern seperti ini, mengucap rasa syukur
harus selalu dilaksanakan. “Dan dengan cara Upacara sedekah Bumi itulah
kami mengucap syukur secara bersama-sama seluruh warga desa. Walaupun
pada kenyataannya, pertanian di daerah kami pada zaman modern ini sudah
tidak sebanyak dahulu, karena penerus atau generasi muda biasanya lebih
memilih pekerjaan lain daripada bertani. Tetapi Upacara Sedekah Bumi
masih tetap dilaksanakan sampai saat ini. Karena itu sudah menjadi
tradisi kepercayaan masyarakat di desa kami.” Tutur bapak Sudirman.
Upacara
sedekah bumi dipimpin oleh tetua adat yaitu orang yang dianggap sesepuh
di desa tersebut, atau bisa juga oleh mudin yaitu orang yang dianggap
sebagai tokoh agama di desa tersebut. Menurut bapak Sudirman,
Pelaksanaan upacara sedekah bumi di desa Mayong kidul dilakukan oleh
seluruh warga desa dan diikuti perwakilan perangkat desa, yang dipimpin
oleh seorang “mudin”, Modin ini ditetapkan sebagai pemimpin upacara sedekah
bumi berdasarkan kepercayaan, bahwa modin merupakan orang yang mengerti
urusan agama, dan diberi wewenang untuk memimpin kegiatan keagamaan
mulai dari mengurusi pernikahan, mengurusi orang meninggal dunia dan
memimpin upacara kenduri atau hajatan.
Upacara yang dilakukan hanya sederhana saja, seluruh warga masyarakat
masing-masing membawa “Berkat” atau nasi dan lauk pauk yang dibawa dari
rumah. Kemudian seorang “mudin” memimpin do’a, setelah do’a selesai
“berkat” yang dibawa masing-masing tersebut dimakan secara bersama-sama.
Sesudah acara makan selesai diperbolehkan untuk pulang, tetapi biasanya
untuk Bapak-bapak tetap tinggal untuk mengobrol. Kemudian pada malam
harinya, diadakan hiburan “wayang orang” atau “ketoprak” untuk menghibur
seluruh warga desa.
Gelaran
sedekah bumi ini juga dihadiri Walikota Jepara, Tri Risma Harini. Meski
datang terlambat, Risma tak lupa mengacungkan jempol untuk masyarakat
dan warga desa mayong kidul. Pakem tradisi yang masih lekat ditambah
keasrian tempat tinggal di kawasan desa mayong kidul mendapat pujian
dari Risma. Sementara itu, ketika acara sampai di tukar-menukar
seserahan, warga tak bisa terhindar untuk saling berebut. Selain menukar
seserahan, warga juga menyerbu tumpeng buah setinggi hampir 2 meter
yang telah disediakan panitia.
“Nggak tau dapat yang mana, yang penting senang bebarengan,” kata salah satu warga desa mayong kidul, Suharti (46) saat tengah berebut tumpeng buah.[3] Dalam sekejap, tumpengan buah yang terdiri dari buah salak, apel, jeruk, belimbing, jambu, mentimun, dan pisang. Sedangkan pucuk tumpeng, yang diduduki buah semangka dan nanas menjadi incaran anak-anak balita yang tidak sungkan untuk berdiri di atas meja tumpeng. Acara sedekah bumi ini dimeriahkan oleh Kelompok Karawitan Sari Laras beserta rombongan penari Remo dan sinden-sinden.
“Nggak tau dapat yang mana, yang penting senang bebarengan,” kata salah satu warga desa mayong kidul, Suharti (46) saat tengah berebut tumpeng buah.[3] Dalam sekejap, tumpengan buah yang terdiri dari buah salak, apel, jeruk, belimbing, jambu, mentimun, dan pisang. Sedangkan pucuk tumpeng, yang diduduki buah semangka dan nanas menjadi incaran anak-anak balita yang tidak sungkan untuk berdiri di atas meja tumpeng. Acara sedekah bumi ini dimeriahkan oleh Kelompok Karawitan Sari Laras beserta rombongan penari Remo dan sinden-sinden.
2. Upacara Adat di Tanah Jawa
Pada
masyarakat Jawa, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran,
kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata
banyak ragamnya. Berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan
oleh para pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak
lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut Mulder[4],
pandangan hidup masyarakat Jawa sangat menekankan pada ketenteraman
batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap
segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah
masyarakat serta masyarakat di bawah alam. Individu memiliki tanggung
jawab berupa hak dan kewajiban terhadap masyarakat, dan masyarakat
mempunyai kewajiban terhadap alam.
Hubungan
manusia dengan individu manusia (mikro kosmos) dilestarikan dengan
upacara-upacara (ritual). Hubungan manusia dengan alam (makro kosmos)
melahirkan kepercayaan yang juga dilestarikan. Dalam rangka menjaga
keharmonisan hubungan antara individu dengan leluhurnya ataupun dengan
alam (hubungan mikro kosmos dan makro kosmos) maka dilakukan
upacara-upacara tradisional. Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat
Jawa menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua
agama tersebut (Hindu dan Budha) didatangkan untuk keperluan legitimasi
kekuasaan raja. Di samping itu menurut Buchori,[5]
Hindu dan Budha didatangkan untuk keperluan istana guna manyerap
pengetahuan tentang teknik membuat candi sekaligus merupakan aktivitas
untuk menunjukkan kebesaran kraton, upacara istana, teknik memerintah
dan sebagainya.
Pengaruh
Hindu dan Budha lebih terserap pada kalangan elit dan penguasa daripada
kalangan masyarakat umum, yang hidup jauh dari pusat kerajaan.
Masyarakat umum lebih banyak melakukan tradisi-tradisi dari kebudayaan
aslinya dan mereka memegang teguh pada adat istiadat serta kepercayaan
lama yang diperoleh dari nenek moyangnya. Maraknya tradisi memperingati
dan ataupun merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia
dengan melaksanakan serangkaian upacara itu, disamping merupakan bagian
dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai manifestasi upaya manusia
untuk mendapatkan ketenangan rohani. Hal ini masih cukup kuat berakar
pada sebagian masyarakat Jawa modern. Penelitian Kartodirdjo[6]
membuktikan masih adanya tradisi Jawa sebagai suatu sikap kuat yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa, meskipun proses pembangunan dan
modernisasi terus berlangsung.
Menurut Magnis Suseno, sebagaimana dikutip Sarjono,[7]
ciri khas kebudayaan Jawa adalah terletak pada kemampuannya yang luar
biasa untuk membiarkan diri dibanjiri gelombang kebudayaan dari luar,
namun tetap mampu mempertahankan keasliannya. Demikian pula hasil
penelitian Sumardjoko dan Murofiquddin (1998) maupun Setyadi (2001)
antara lain membuktikan bahwa meskipun masyarakat Jawa sudah memasuki
era modern tetapi keyakinan terhadap kekuatan arwah tetap tidak usang.
Kehidupan
masyarakat Jawa pada dasarnya sarat dengan nilai-nilai religi. Religi
berasal dari kata “religare” yang berarti meyakini, bersatu padu dengan
samadi. Religi sebagai gerak keterlibatan hari nurani manusia yang
meyakini adanya nilai-nilai kudus sehingga membuat manusia tunduk dengan
sendirinya tanpa adanya suatu paksaan. Fraser, sebagaimana dikutip
Koentjaraningrat[8]
antara lain menyebutkan bahwa munculnya religi bersifat evolusif, yakni
mula-mula manusia memecahkan persoalan hidupnya melalui pengetahuan dan
akalnya. Soal-soal yang tidak terpecahkan dengan akal diselesaikan
dengan “magic”, dan akhirnya manusia menyadari bahwa alam didiami oleh
makhluk halus. Bersamaan dengan makin lemahnya kemampuan rasional
manusia mengakibatkan tumbuh suburnya keyakinan terhadap sesuatu yang
gaib, seperti keyakinan terhadap dewa, alam, hantu, dan roh nenek
moyang. Religi merupakan suatu respons terhadap kebutuhan akan konsepsi
yang tersusun mengenai alam semesta dan sebagai mekanisme dalam rangka
mengatasi kegagalan akibat ketidakmampuan manusia. Jadi, religi
sebenarnya merupakan segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dari kekuasaan
makhluk halus, seperti roh, dewa dan sebagainya yang menempati alam.
Masyarakat
Jawa mengenal berbagai ibadat dan upacara trandisional. Nenek moyang
orang Jawa hidup dalam alam pikiran sederhana yang berpengaruh pada cara
berpikirnya. Pandangan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan dunia
sering sempit dan lebih dipengaruhi hal-hal di alam gaib. Mereka
beranggapan dunia dihuni bermacam-macam makhluk halus dan kekuatan gaib
yang dapat menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Menghadapi dunia
gaib, manusia menggunakan perasaan, misalnya: menghormati, mengagungkan,
takut, cinta dan ngeri. Perasaan ini muncul dalam berbagai perbuatan
yang berhubungan dengan dunia gaib melalui upacara.
Menurut
Koentjaraningrat, upacara selamatan dapat digolongkan menjadi enam
macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia
sehari-hari yaitu selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang,
seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara menusuk telinga, sunat,
kematian dan setelah kematian. Selamatan yang berkaitan dengan bersih
desa, penggarapan tanah, pertanian dan setelah panen padi. Selamatan
yang berhubungan dengan hari (bulan besar Islam), selamatan pada
saat-saat tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti
membuat perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat)
janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.
Pada
dasarnya upacara merupakan permohonan dalam pemujaan atau pengabdian
yang ditujukan kepada kekuasaan leluhur yang menguasai kehidupan
manusia, sehingga keselamatan serta kesengsaraan manusia tergantung pada
kekuasaan itu. Menurut Geertz,[9]
upacara merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diadakan secara tepat
menurut waktu dan tempat, peristiwa atau keperluan tertentu. Kemudian,
menurut Subagya[10],
upacara merupakan bentuk kegiatan simbolis yang menkonsolidasikan atau
memulihkan tata alam dengan menempatkan manusia dalam tata alam
tersebut, di mana dalam ritus, atau upaya tersebut dipakai kata-kata,
doa-doa, dan gerak-gerak tangan atau badan. Sementara itu
Koentjaraningrat[11]
memformulasikan bahwa sistem upacara mengandung empat komponen, yaitu
tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, serta
orang yang melakukan dan memimpin upacara. Semua yang berperan dalam
upacara tersebut sifatnya sakral sehingga tidak boleh dihadapi dengan
sembarangan, karena dapat menimbulkan bahaya. Demikian juga orang yang
berhadapan dengan hal-hal keramat harus mengindahkan berbagai macam
larangan.
Dari
berbagai pendapat tentang upacara dapat dipahami bahwa upacara yang
dilakukan oleh manusia pada hakekatnya merupakan tata alam sesuai dengan
adat kebiasaan untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup
serta sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam
menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau
dari alam sekitarnya. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat
bertujuan mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh,
dewa-dewa dan juga dengan Yang Maha Kuasa. Para penganut agama asli
Indonesia percaya adanya aturan tetap, yang mengatasi segala kejadian di
dunia yang dilakukan manusia.
Kelakuan
simbolis manusia yang menghadapkan keselamatan itu bentuknya banyak,
seperti: menceritakan kembali mitos asal, mementaskan isi mitos,
melakukan upacara adat, menghadirkan tata alam dalam tari-menari, cara
khusus menanam atau mengetam padi, beraneka perayaan korban, makan
bersama (selamatan), penegasan jenjang peralihan dalam hidup dan
lain-lain (Subagya, 1987). Kesediaan manusia mengikuti tata upacara yang
ditentukan karena percaya aturan itu sebagai kelakuan simbolis, yang
menghadapkan keselamatan yang menceritakan kembali mitos asal.
Upacara
tradisional adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan yang
bersifat turun temurun, antara lain pandangan hidup, kepercayaan,
kesenian, upacara yang semuanya dilakukan menurut adat atau aturan agama
dan keyakinan yang dianut manusia pendukungnya. Upacara itu juga
merupakan kegiatan sosial yang meliputi warga masyarakat dalam usaha
mencapai tujuan keselamatan bersama dan menjadi bagian integral dari
kebudayaan masyarakat. Tradisi memperingati atau merayakan peristiwa
penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan upacara
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus manifestasi upaya
manusia mendapatkan ketenangan rohani, yang masih kuat berakar sampai
sekarang.
3. Upacara Sedekah Bumi sebagai salah satu upacara adat di Jawa
Sedekah
bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya peninggalan nenek
moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut
dinamakan sesaji bumi/ laut. Pada masa Islam, terutama masa Wali songo
(500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak
dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan
/mensyiarkan ajaran Allah yaitu ajaran tentang Iman dan Takwa atau
didalam bahasa jawa diistilahkan eling lan waspodo yang artinya tidak
mempersekutukan Allah dan selalu tunduk dan patuh mengerjakan perintah
dan menjauhi larangan AIIah. Untuk mensyiarkan dan melestarikan ajaran
Iman dan Takwa, maka para Wali menumpang ritual budaya sesaji bumi/laut
yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang
diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa
membedakan suku, agama, ras, atau golongan.[12]
Sebenarnya
ritual upacara sedekah bumi sudah lama dikenal bangsa indonesia jauh
sebelum mencapai kemerdekaan dengan mendirikan negara republik
indonesia. Sebelum agama islam masuk ke tanah air, waktu itu belum
muncul nama indonesia, sebagian penduduk berpegang pada kepercayaan
lama, yang dalam istilah ilmu agama (science of religion) disebut
animisme, dinamisme, fetisisme, dan politheisme. Sebagian yang lain
memeluk agama hindu dan buddha. Mereka mempercayai adanya kekuatan
supernatural yang mengusai alam semesta, berupa dewa-dewa.
upacara-upacara yang dimaksudkan untuk memuja dewa laut dan dewa bumi
dibiarkannya tetap berjalan, meski sebagian penduduk itu sudah memeluk
agama islam. Hanya saja, mantra-mantranya diganti dengan doa-doa secara
islam, dan nama upacara disesuaikan dengana ajaran islam, yaitu dengan
istilah sedekah laut dan sedekah bumi. Perubahan yang menyangkut aspek
teologis dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan gejolak
sosial. Ini merupakan salah satu metode dakwah mubaligh pada masa awal
kedatangan islam di tanah air indonesia.
Kedatangan
agama islam ke nusantara dibawa oleh para mubaligh yang dalam
menyiarkan agamanya menggunakan metode persuasif. Mereka tidak secara
drastis mengadakan perubahan terhadap kepercayaan dan adat istiadat
lama, melainkan sampai batas-batas tertentu, memberikan toleransi,
membiarkannya tetap berlangsung dengan mengadakan modifikasi-modifikasi
seperlunya. di antaranya ada dewa yang mengusai lautan (varuna), dan
menguasai bumi (pertiwi). Sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan
kepada dewa-dewa tersebut, mereka mengadakan upacara-upacara (ritual),
dengan membaca mantra-mantra dan mempersembahkan sesaji. Tujuannya agar
para dewa memelihara keselamatan penduduk, menjauhkan mereka dari
malapetaka, dan melimpahkan kesejahteraan, berupa meningkatnya jumlah
ikan di laut dan hasil pertanian di darat.
Pada
masyarakat jawa, memang terkenal dengan beragam jenis tradisi budaya
yang di ada di dalamnya. Baik tradisi kultural yang bersifat harian,
bulanan hingga yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya
jawa tanpa terkecuali. Dari beragam macamnya tradisi yang ada di
masyarakat jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi serta menjelaskan
secara rinci terkait dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam
masyarakat jawa tersebut. Salah satu tradisi masyarakat jawa yang hingga
sampai sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan sudah mendarah
daging serta menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa pada setiap tahunnya
adalah sedekah bumi.
Tradisi
sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional
masyarakat di pulau jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun
dari nenek moyang orang jawa terdahulu. Ritual sedekah bumi ini biasanya
dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang berprofesi sebagai
petani dan nelayan yang menggantungkan kehidupan keluarga dan sanak
famili mereka dari mengais rizki memanfaatkan kekayaan alam yang ada di
bumi. Bagi masyarakat jawa khususnya para kaum petani dan para nelayan,
tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan hanya merupakan
sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi
tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara
tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian yang sudah
menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari
kultur (budaya) jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap
kelestarian serta kearifan lokal (Local Wisdem) khas bagi masyarakat
agraris maupun masyarakat nelayan khususnya yang ada di pulau jawa.
Pada
acara upacara tradisi sedekah biasanya seluruh masyarakat sekitar
membuat tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di
balai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh
masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut.
Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke balai desa
atau tempat-tempat untuk di do’akan oleh tetua adat. usai di do’akan
oleh sesepuh atau tetua adat, kemudian kembali diserahkan kepada
masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di
do’akan oleh sesepuh kampung atau tetua adat setempat kemudian di makan
secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi
itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa pulang nasi
tumpeng tersebut untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah
masing-masing.
Menurut
adat istiadat dalam tradisi budaya ini, di antara makanan yang menjadi
makanan pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah
nasi tumpeng dan ayam panggang. Sedangkan yang lainnya seperti minuman,
buah-buahan dan lauk-pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi
perioritas yang utama. Dan pada acara akhir, nantinya para petani
biasanya menyisakan nasi, kepala dan ceker ayam, ketiganya dibungkus dan
diletakkan di sudut-sudut petak sawahnya masing-masing.
Dalam
puncak acara ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan do’a
bersama-sama oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh tetua adat.
Do’a dalam sedekah bumi tersebut umumnya dipimpin oleh tetua adat atau
sesepuh kampung yang sudah sering dan terbiasa memimpin jalannya ritual
tersebut. Ada yang sangat menarik dalam lantunan do’a pada ritual
tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa tersebut adalah kolaborasi
antara lantunan kalimat-kalimat Jawa dan yang dipadukan dengan
khazanah-khazanah doa yang bernuansa Islami.
Ritual
sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini
merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia
terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Manurut cerita dari para
nenek moyang orang jawa terdahulu, Tanah itu merupakan pahlawan yang
sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah
harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Dan ritual sedekah bumi
inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan
bagi masyarakat jawa khususnya para petani dan para nelayan untuk
menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas
bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia. Sehingga dengan begitu
maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor
dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang
menempatinya.
Selain
itu, Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah
satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang telah diberikannya. Sehingga
seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya
dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris
menuai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka
yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya
dengan bercocok tanam.
4. Mitos dalam Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara
Tradisi
Larungan dan Nadran yang kemudian disebut Upacara Sedekah Bumi
merupakan salah satu upacara adat yang begitu sakral dan memiliki
nilai-nilai spiritualitas yang tersembunyi disela-sela acara ritual
pelaksanaan pesta rakyat, sekaligus pembuktian adanya ajaran islam yang
mengilhami pelaksanaanya. Termasuk dalam pakaian yang digunakan, kuwu
(kepala desa) menggunakan Iket (blangkon), baju takwa lurik dasar
kuning, kain panjang, sumping kembang melati, memegang Teken (Tongkat
paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang, sumping
melati, gulung kiyong, dan selendang jawana.
Upacara
adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung,
pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh
seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang
berlangsung misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi,
berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan sekarang ini ada
pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan wayang kulit
lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi Loka,
kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan.
Dalam
lakon Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian
ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra
Pandawa yang dipimpin Gatotkaca. Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra
Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat mengalahkan mereka, bahwa para
putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama menyentuh bumi. Maka
semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa, dan
menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menyentuh bumi. Prabu
Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut di
angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua
akhirnya terbunuh oleh Gatotkaca, diatas Anjang-anjang yang telah
dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor
dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma
terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan
Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura. Habislah para putra Manik
Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi penyebab
datangnya musim penghujan.
Dari
mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan
masyarakat untuk menyambut datangnya musim penghujan. Namun dasawarsa
terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari makna
awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas tiap tahun, sekarang
Sedekah Bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti
dari banyaknya pengunjung yang datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi,
yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula. Namun, paling tidak tradisi
ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato tata
masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan
terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambakan
konservasi dari pada perubahan.
5. Peralatan dan Prosesi Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara
Dalam
pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi atau masyarakat Mayong kidul juga
menyebutnya dengan istilah Upacara Jembul Tulakan, disuguhkan dua macam
Jembul. Jembul yang besar di depan atau sering disebut Jembul Lanang,
sedangkan jembul kecil berada di belakang disebut dengan jembul wadon.
Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul
Wadon tidak. Jembul Lanang didalamnya terdapat bermacam-macam makanan
kecil, seperti jadah (gemblong), tape ketan, apem dan sebagainya,
sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya.
Jumlah-jembul
disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala
dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo. Antara lain, pertama,
jembul Krajan yaitu jembul dari penduduk dukuh Krajan, tempat kediman
Ki demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini mempunyai
ciri khas berupa golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayid
Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat. Kedua, Jembul Ngemplak
merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas
perjuanganya membuka perdukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah
kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai
identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo
seorang Nayoko Ratu Kalinyamat. Ketiga, jembul Winong adalah penghargaan
terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan
membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat
golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal
dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari kabupaten Jepara
sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder. Keempat, Jembul Drojo
merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka
pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaanya maka dibuatlah golek yang
menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh
Kalinyamat. Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu-persatu
dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali
peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan
dipertunjukan tarian penghormatan dengan tayub.
Upacara
Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaran
yang dikenal dengan istilah kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan
oleh perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada
masa sekarang masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar
tercipta kehidupan yang tentram, bersih dari malapetaka dan dari segala
kesulitan yang menimpa penduduk. Disamping itu sekaligus untuk
mengingatkan kepada petinggi agar selalu bersih dalam segala tindakan
dan langkahnya, tidak melanggar larangan-larangan agama, larangan
pemerintah dan menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam memimpin
masyarakat desa Mayong kidul. Setelah pencucian kaki petinggi maka
dilakukan selamatan sebagai lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar desa Mayong kidul tetap selamat sentosa dan hasil bumi pada
tahun mendatang melimpah ruah sehingga kehidupan penduduk Mayong kidul
menjadi sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan.
Acara
mengitari Jembul sebanyak tiga kali merupakan inti dari proses Jembul
Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul dilakukan oleh petinggi diikuti oleh
ledek atau penari tayub dan para perangakat desa. Prosesi ini dilakukan
untuk menggambarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat melakukan
pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap beliau
sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya. Kesetiaan para
nayoko projo ini ditunjukan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana
ini pada masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar
para pemimpin desa Mayong kidul selalu menyempatkan diri untuk
memberikan perhatian pada staf perangkat desanya dalam menjalankan tugas
sehari-hari.
Dengan
pemantauan tersebut akan tercipta keadaan desa yang aman sentausa. Di
samping memantau para pembantunya, pemimpin desa juga perlu
memperhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun langsung mengenal
masyarakat secara dekat dari perdudukuhan–perdukuhan yang ada, sehingga
terciptalah kondisi di desa yamg tertib. Agar Pemimpin benar-benar dapat
bertindak mengayomi dan nganyemi dalam arti melindungi dan menciptakan
ketemtraman desa yang dipimpinnya.
Setelah
dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup
dilakukan Resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai
untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat
Desa Mayong kidul secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai
bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kajahatan-kejahatan
dari Desa Mayong kidul. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan,
di dukuh Pejing juga melakukan sedekah bumi yang disebut sedekah bumi
Pejing. Hal ini berkaitan dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan
sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk selaku ketua pedukuhan sakit sehingga
tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah Cabuk, anak-anaknya serta
masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut diizinkan melakukan
upacara jembul sendiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan ini terkabul,
masyarakat di dukuh tersebut diizinkan melakukan sedekah bumi sendiri
oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul.
Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, sehingga diadakanlah
upacara sedekah bumi Pejing.
Diizinkannya
Pejing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki Barata selaku
Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga untuk
tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing
melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan
yang diajukan oleh Ki Barata. Syaratnya adalah sedekah bumi di
Kademangan Tulakan harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing,
Waktu pelaksanaan sedekah bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan
sedekah bumi Tulakan. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu
dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat Pejing masih bisa
mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan dilakukan
pada hari senin pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seminggu
kemudian yaitu senin Wage. Syarat utama lainnya adalah tidak adanya
jembul dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkan
adalah Tayub.
Tradisi
Jembul Tulakan dilaksanakan setiap bulan Apit (Dzulqo’dah ) tepatnya
pada hari senin sesudah upacara pada malam Jum’at Wage di Desa Sonder,
hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di Desa Sonder pada
waktu malam Jum’at Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para Nayoko
Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti
glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan
perlengkapan sang Ratu). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat
dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh dukuh yang ada pada waktu itu dan
menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarkan hulu bekti. Prosesi
upacara yang menggambarkan penyembahan jembul-jembul oleh tledek (penari
Tayub wanita) mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu
sang nayoko menghadap, sang ratu mendapat penghormatan dari dayang
dayang atau pendamping. Tarian tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan
para nayoko yang diwujudkan dengan jembul-jembul.
6. Manfaat dari pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi
Dari
sisi atraksi budaya, Upacara Sedekah Bumi cukup menarik karena
melibatkan seluruh masyarakat yang merasa memiliki tradisi tersebut.
Dengan terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu
terpelihara dari waktu ke waktu dengan berbagai nuansa-nuansa baru
dengan tetap mempertahankan persyaratan upacara yang dianggap harus ada,
baik dari segi peralatan maupun langkah- langkah yang harus dilalui.
Upacara Sedekah Bumi ini, disamping menarik bagi masyarakat pendukung
budaya tersebut sebagai bagian dari aktifitas budaya penyelarasan dengan
alam lingkungan, juga menjadi tontonan budaya bagi masyarakat lain yang
tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan ini. Dengan berkumpulnya
berbagai lapisan masyarakat pendukung maupun yang datang sebagai
penonton, maka tradisi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai daya tarik
wisata, minimal wisata local.
Munculnya
aktifitas budaya ini juga dibarengi dengan aktifitas ekonomi. Setiap
kali perayaan pasti mendatangkan penjual makanan kecil maupun
warung-warung souvenir dan oleh-oleh yang menjadi makanan khas disana.
Atraksi ini mampu mendatangkan betuk kegiatan ekonomi baru sebagai unit
usaha yang mendukung kegiatan pariwisata meskipun masih dalam lingkup
kecil atau local. Namun demikian lama kelamaan dengan tersebarnya
informasi mengenai lokasi-lokasi wisata yang ada di Kabupaten Jepara,
diharapkan Upacara Sedekah Bumi ini dapat menjadi daya tarik wisata yang
bersifat nasional.
Apalagi
melihat perkembangan yang ada di Jepara sekarang ini berkaitan dengan
hadirnya para pengusaha asing untuk melakukan kegiatan ekonomi pada
industri kerajinan ukir. Biasanya para pendatang asing tersebut juga
tertarik dengan tradisi budaya yang masih terpelihara untuk lebih mudah
menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Langkah strategis yang
ditempuh oleh Dinas Pariwisata Jepara juga dapat dijadikan indikator
bahwa Upacara Sedekah Bumi memberikan kontribusi pada daya tarik
wisatawan, dengan cara memasukkannya sebagai salah satu jadwal paket
wisata yang dapat dikunjungi. Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu
sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten, baik berupa pajak penjualan pada
warung-warung dan pemasukan bagi masyarakat sendiri sebaagi penjual.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten sendiri mempunyai
kepedulian untuk melestarikan tradisi ini. Di satu sisi sebagai salah
satu sumber pemasukan daerah, sisi lainnya memang sudah menjadi bagian
sumber mata pencaharian tambaha masyarakat sekitar objek wisata tersebut
dengan menjual makanan, jasa penitipan sepeda dan transportasi.
Masyarakat
secara umum merasa bahwa pelaksanaan tradisi sedekah bumi memberikan
manfaat. Pertama, sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena
selama satu tahun masyarakat talah diberi rezeki hasil panen. Kedua
sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa bagaimana
menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik. Mampu mengayomi
dan menciptakan ketentraman dan kasejahteraan seluruh masyarakat.
Ketiga, tadisi sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi
masyarakat, berupa wayang maupun tayub. Keempat, pada saat dilakukan
sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik
dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah
pendapatan penduduk. Kelima, sebagai sarana untuk mengingat perjalan
sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat
dibuktikan kebenarannya.
Terutama
dalam tradisi sedekah Bumi ini adalah sejarah mengenai perjuangan ratu
Kalinyamat. Menurut cerita masyarakat setempat yang selalu dituturkan
melalui prosesi Sedekah bumi, pada waktu ratu bertapa yang memakan waktu
cukup lama, banyak sekali rambut panjangnya rontok. Rambut-rambut
tersebut kemudian dikumpulkan ditanam oleh Kasturi (sesepuh dukuh)
bapaknya rukan sehingga seolah-olah seperti makam. Ada dua bumbung yang
berhasil ditemukan, yang satu berisi rontokan rambut sedangkn satunya
cacatan namun sulit dilacak keberadaanya dan hilang. Akan tetapi
masyarakat meyakini bahwa meskipun buktinya belum ditemukan namun
keberadaan Ratu Kalinyamat diyakini adanya.
7. Refleksi Upacara Sedekah Bumi pada saat ini
Pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Mayong kidul Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara merupakan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia menjaga hubungan dengan penguasa alam (hablum minallah)
dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas). Hal ini
dipertegas Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat: 67) bahwa upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama
mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Upacara sedekah bumidilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Apit bertepatan tanggal 14 Oktober 2011. Waktu ini dipilih oleh masyarakat karena didasarkan pada
beberapa pertimbangan. Hari Jum’at merupakan hari yang baik untuk
mengirimkan do’a kepada para leluhur. Pada hari ini dipercaya roh orang
yang meninggal dunia akan pulang dan melihat sanak saudaranya. Bulan
Apit dipilih karena pertimbangan
bahwa pada bulan itu dipercaya oleh masyarakat sebagai bulan yang
kurang baik, akan muncul berbagai bencana, rezeki kurang lancar. Oleh
karena itu pada saat bulan Apit inilah saat yang tepat untuk
melaksanakan upacara sedekah bumi dengan memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar seluruh warga desa selalu berada dalam lindungannya dan diberi rahmat yang berupa hidup damai tenteram dan sejahtera.
Pada
zaman dahulu, upacara khormat bumi merupakan sarana pemujaan kepada
nenek moyang dan sekaligus pemujaan kepada Dewi Sri (Dewa Kesuburan
menurut mitologi agama Hindu) agar masyarakat dijaga dari hal-hal yang
tidak diinginkan dan tanaman diberi kesuburan. Kini, hakekat upacara sedekah
bumi adalah usaha bersama masyarakat memohon kepada Allah SWT agar
selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari bencana serta selalu diberi
kesejahteraan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat masih ada yang
memiliki kepercayaan bahwa nasi hajatan memiliki berkah, sehingga
ketika nasi hajatan dibawa pulang akan digunakan sebagai pupuk tanaman
dengan harapan tanaman tumbuh subur dan menghasilkan panen yang
melimpah.
Generasi penerus perlu memiliki sikap menerima terhadap kesenian tradisional. Siraman rohani dalam pengajian umum dalam rangka upacara sedekah bumi dipandang sebagai sarana untuk memperdalam wawasan keagamaan. Persepsi yang salah terhadap upacara sedekah bumi yaitu bahwa sedekah bumi merupakan tradisi agama hindu-budha yang melakukan ritual-ritual terhadap dewa-dewa sedikit demi sedikit mulai terkikis, sehingga diharapkan pelaksanaan upacara sedekah bumi sejalan dengan ajaran agama Islam. Usaha masyarakat mempertahankan tradisi upacara sedekah bumi yang berasal dari tradisi pra aksara dengan memasukkan unsur ajaran agama Islam, menunjukkan telah terjadi sinkretisme antara tradisi pra sejarah dengan tradisi Islam. Pengajian umum, ketoprak dan wayang kulit menunjukkan tradisi pra Islam dan tradisi Islam.
Dalam pelaksanaan upacara sedekah
bumi, ada beberapa nilai-nilai yang dapat direkomendasikan sebagai
nilai-nilai yang perlu diwariskan kepada generasi penerus, yaitu
1. Sikap
religius masyarakat, yang tercermin sikap masyarakat yang selalu ingat
kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Semakin manusia itu dekat kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menurunkan karunia dan rahmatnya yang dapat berupa kesejahteraan dan kedamaian.
2. Selalu
ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah mendirikan
desa. Disamping itu ada beberapa sikap yang telah diperlihatkan oleh
masyarakat Desa Mayong kidul dalam melaksanakan upacara sedekah bumi, dan sikap itu harus tertanam dalam hati para generasi muda, yaitu (1) sikap gotong-royong. Dalam melaksanakan hajatan upacara sedekah bumi, warga masyarakat saling bahu membahu, bekerja bersama-sama tanpa pamrih.
(2) sikap hidup rukun saling tolong menolong yang tercermin dari hidup
guyub senantiasa terpelihara dalam kehidupan masyarakat Desa Mayong kidul. (3) sikap masyarakat yang senantiasa memelihara silaturrahim sesama warga merupakan modal untuk hidup rukun, sebab dengan memelihara tali silaturrahim, akan tercipta hidup yang damai jauh dari rasa saling mencurigai.
8. Upacara Sedekah Bumi menurut Paradigma Fungsionalisme Struktural
Paradigma
fungsionalisme struktural merupakan salah satu paradigma yang di pakai
untuk mengkaji berbagai masalah sosial dari kacamata sosiologi. Menurut
paradigma ini, masyarakat dianalogikan sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari berbagai bagian yang saling berhubungan dan tidak
terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu jika ada
perubahan dalam bagian dari sistem tersebut maka akan menyebabkan
perubahan yang lain. Semua bagian dalam sebuah sistem akan bekerja
sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk mencapai sebuah keseimbangan
atau untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem itu sendiri.
Jadi, jika salah satu bagian dalam sistem tidak dapat bekerja sesuai
dengan fungsinya maka akan mengganggu fungsi dari bagian yang lain yang
berimbas pada tingkat keseimbangan sistem.
Agama
merupakan salah satu bentuk tingkah laku masyarakat yang dilembagakan.
Menurut paradigma fungsinalisme struktural, agama merupakan suatu
lembaga sosial yang berfungsi untuk menjawab kebutuhan mendasar dari
masyarakat yang terkadang tidak dapat diperoleh melalui pemahaman sacara
duniawi. Agama juga dianggap sebagai penyebab sosial (social causation)
yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial dalam tubuh masyarakat.
Dalam hal ini masyarakat memiliki perasaan yang sanggup mengumpulkan
mereka dalam suatu wadah, yang kemudian oleh Durkheim, agama dilihat
sebagai sarana atau alat pemerkuat solidaritas sosial yang dapat
terlihat melalui kegiatan keagamaan dan pengabdian terhadap Tuhan.
Paradigma
fungsionalisme juga melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang
istimewa yang mampu meresapi setiap tingkah laku laku penganutnya.
Malinowski dalam teori fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan
agama dan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis
besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural
atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Mereka yang terlibat
dalam sebuah ritual bisa melihat dan merasakan bahwa agama merupakan
sarana untuk meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan. Di sini
agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual
secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang
kemudian dapat memperkuat fungsi solidaritas.
Tradisi
upacara sedekah bumi merupakan salah satu contoh konkrit dari aplikasi
fungsi solidaritas sebuah ritual (agama). Tradisi ini bertujuan agar
kita selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh
Tuhan. Jika dilihat, tradisi ini kurang rasional apabila memakai objek
kuburan sebagai tempat untuk melakukan syukuran atas razeki yang
diperoleh melalui hasil panen atau usaha yang lainnya. Namun, jika kita
menggunakan pendekatan paradigma fungsionalisme struktural untuk
menganalisisnya maka kita akan menyadari bahwa setiap hal yang
sepertinya kurang masuk akal ternyata memiliki fungsi. Demikian pula
apabila pelaksanaan upacara sedekah bumi dilakukan di kuburan. Hal
tersebut mengandung fungsi pengingat untuk semua warga desa agar
ketika mendapatkan nikmat atau berkah dari Tuhan mereka tidak lantas
menjadi sombong atau bahkan lupa bersyukur kepada Tuhan, mengingat bahwa
semua itu tidaklah abadi karena nantinya semua manusia akan meninggal
juga seperti mereka yang telah meninggal mendahului yang masih hidup
menghadap Tuhan.
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Durkheim bahwa adanya agama atau praktek
ritual memiliki fungsi integrasi, peningkatan solidaritas bahkan
membentuk masyarakat. Jika dikaitkan dengan tradisi sedekah bumi maka
melalui tradisi tahunan ini telah mampu mengundang atau mengumpulkan
satu masyarakat desa menjadi satu tanpa melihat status sosialnya dan
dengan banyaknya masyarakat yang mengikuti tradisi ini maka solidaritas
diantara mereka sebagai kesatuan kelompok atau komunitas semakin
terjaga. Keseimbangan sosial pun juga dapat tercipta setidaknya dari
situasi rukun yang terjalin oleh partisipan tradisi tersebut.
9. Tradisi dapat membentuk kehidupan yang ideal
Tradisi
dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun
kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan
Budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari
otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis,
dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah
satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena itu,
salah satu upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi
persoalan ini adalah dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan
lokal dalam kurikulum, mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai
ketingkat SMA. Harapannya adalah agar tidak membiarkan dinamika
kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan ditandai munculnya
budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan
(Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan,
sebab dengan terbengkalainya pengembangan kebudayaan bisa berakibat
terjadinya kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi
kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari
pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi yang tidak hanya
cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa memiliki
tradisi setempat.
Pelestarian
tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat dapat menghormati
tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya, seperti kata-kata ini:
Ketahuilah, bahwa yang terpenting bukan hanya “bagaimana belajar
sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari sejarah”. Soekarno
menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan
tempatnya, penelitian digolongkan menjadi tiga macam, yaitu penelitian
yang dilakukan di perpustakaan (Library Research), penelitian yang
dilakukan di lapangan (Field Research), dan penelitian yang dilakukan di
laboratorium (Laboratory Research).[13]
Karena penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di lapangan,
maka penelitian ini termasuk dalam Field Research, yang lebih merupakan
studi tentang kajian budaya atau tradisi. Namun dalam tahap
penyusunannya, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan
(Library Research) sebagai perbandingan dan penguat data-data yang
berhasil ditemukan dilapangan.
Empat tahap metode sejarah yang digunakan dalam setiap penulisan sejarah adalah :
1. Pengumpulan Data (Heuristik)
Heuristik
berasal dari bahasa Yunani heurisken yang berarti memperoleh. Sedangkan
yang dimaksud heuristik adalah teknik atau seni mengumpulkan data yang
tidak mempunyai peraturan-paraturan umum, ia tidak lebih dari suatu
keterampilan menangani bahan.[14]
Berkaitan dengan topik yang akan diteliti yaitu Upacara Sedekah Bumi di
Desa Mayong kidul, Jepara, maka teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Wawancara
Wawancara
adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Jenis interview
yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah bebas terpimpin,
yaitu dengan tidak terikat kepada kerangka pertanyaan-pertanyaan,
melainkan dengan kebijakan interviewer (pewawancara) dan situasi ketika
wawancara dilakukan.
Dalam
menggunakan interview tidak terlepas dari masalah pokok yang perlu
diperhatikan seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat,
yaitu: Pertama, seleksi individu untuk diwawancarai; kedua, pendekatan
pada individu yang telah diseleksi untuk diwawancarai; ketiga,
pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai serta untuk menimbulkan
pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancarai.[15]
Adapun pihak yang dijadikan nara sumber atau informasi adalah warga
asli desa Mayong kidul dan lebih ditekankan pada para pelaksana Upacara
Sedekah Bumi, yaitu para sesepuh dan perangkat desa.
b. Dokumentasi
Dalam
pengumpulan sumber tertulis, peneliti menggunakan metode dokumenter,
yaitu teknik penelitian, teknik penyelidikan yang ditujukan karena
penguraian dan penjelasan terhadap apa yang telah lalu melalui sumber
dokumentasi. Metode ini dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber primer
yaitu dari responden/subjek penelitian dan sumber sekunder yakni melalui
sumber yang diperoleh dari dokumen dan buku dari beberapa sumber yang
ada.
2. Kritik Sumber
Kritik
sumber untuk memperoleh data yang valid melalui kritik intern untuk
mengetahui isi dan sumber sejarah yang dapat dipercaya atau tidak adanya
upacara tersebut. Sedangkan kritik ekstern untuk mengetahui keaslian
sumber sejarah yang ada pada upacara tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi
adalah menafsirkan data yang telah teruji kebenarannya berdasarkan
konsep dan teori yang sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
4. Historiografi
Sebagai
fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi disini merupakan cara
penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan. Peneliti berusaha menyajikannya secara sistematis agar mudah
dimengerti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
- Hasil Penelitian
Hasil
dari penelitian ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: bagian awal,
bagian utama dan bagian akhir. Pada bagian awal terdiri atas: halaman
sampul, kata pengantar, dan daftar isi.
Pada bagian utama terdiri atas lima bab, yaitu :
Bab
pertama adalah: pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian.
Pada bab ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyusunan laporan
penelitian, sehingga dalam penyusunannya dapat dijelaskan secara
sistematis sesuai yang telah ditentukan.
Bab
kedua membahas tentang kajian teori mengenai upacara sedekah bumi di
desa mayong kidul, jepara. Pembahasan pada bab ini meliputi Fenomena
Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul Jepara, Upacara Adat di Tanah Jawa,
Upacara Sedekah Bumi sebagai salah satu Upacara Adat di Jawa, Manfa’at
dari pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi, Refleksi Upacara Sedekah Bumi
pada saat ini, dan Upacara Sedekah Bumi menurut Paradigma Fungsionalisme
Struktural.
Bab
ketiga berisi tentang Metodologi Penelitian yang dipakai pada
penelitian ini. Karena penelitian ini berupa studi tentang kajian budaya
atau tradisi maka penelitian ini termasuk dalam Field Research
(penelitian lapangan). Namun dalam tahap penyusunannya, penelitian ini
juga menggunakan studi kepustakaan (Library Research) sebagai
perbandingan dan penguat data-data yang berhasil ditemukan dilapangan.
Sedangkan dalam tahap pengumpulan data, penelitian ini menggunakan
teknik Wawancara dan Dokumentasi.
Bab
keempat berisi tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan. Sedangkan Bab
Kelima merupakan penutup, dalam hal ini meliputi Kesimpulan dari
pembahasan secara keseluruhan dan Saran-saran.
Bagian
akhir dari laporan penelitian ini berupa daftar pustaka dan
lampiran-lampiran. Lampiran tersebut berupa angket penelitian sebagai
salah satu alat pengumpul data.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Sedekah
bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya peninggalan nenek
moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut
dinamakan sesaji bumi/ laut. Pada masa Islam, terutama masa Wali songo
(500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak
dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan
/mensyiarkan ajaran Allah yaitu ajaran tentang Iman dan Takwa yaitu
dengan mengubah substansi dari ritual budaya sesaji bumi/laut yang
dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang diberikan
kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa membedakan
suku, agama, ras, atau golongan.
Pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Mayong kidul Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara merupakan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia menjaga hubungan dengan penguasa alam (hablum minallah)
dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas). Hal ini
dipertegas Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat: 67) bahwa upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama
mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Pada
masyarakat Jawa, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran,
kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata
banyak ragamnya. Berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan
oleh para pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak
lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut Mulder,
pandangan hidup masyarakat Jawa sangat menekankan pada ketenteraman
batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap
segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah
masyarakat serta masyarakat di bawah alam.
Dari
hasil penelitian ini dapat dipahami bahwa upacara yang dilakukan oleh
manusia pada hakekatnya merupakan tata alam sesuai dengan adat kebiasaan
untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup serta sebagai
perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi
tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau dari alam
sekitarnya. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan
mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa dan
juga dengan Yang Maha Kuasa.
Dalam pelaksanaan upacara sedekah bumi, ada beberapa nilai-nilai yangperlu diwariskan kepada generasi penerus, yaituSikap
religius masyarakat, yang tercermin sikap masyarakat yang selalu ingat
kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Sikap selalu ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah mendirikan desa.Dan Sikap hidup rukun saling tolong menolong yang tercermin dari hidup guyub senantiasa terpelihara dalam kehidupan masyarakat Desa Mayong kidul.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Maraknya
berbagai tradisi untuk memperingati dan ataupun merayakan peristiwa
penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian
upacara itu, disamping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
sekaligus sebagai manifestasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan
rohani.
2. Ritual
sedekah bumi yang selalu dilaksanakan masyarakat desa mayong kidul
merupakan bukti masih kuatnya kepercayaan sebagian orang Jawa terhadap
kekuatan-kekuatan dunia gaib, sekalipun mereka saat ini sudah memasuki
era modern.
3. Upacara sedekah bumi di desa mayong kidulkecamatan mayongkabupaten jepara bermanfaat sebagai sarana untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang ada dalam masyarakat.
B. Saran
Upacara
Sedekah Bumi merupakan salah satu bentuk ritual warisan nenek moyang
masyarakat desa mayong kidul yang sudah mengalami perpaduan dengan
ajaran agama islam sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan
keberadaannya karena tujuan diselengarakan upacara sedekah bumi adalah agar Allah SWT selalu memberi kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman, dan dijauhkan dari segala malapetaka. Semoga Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara sedekah bumi dapat dijadikan sebagai nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh generasi muda penerus bangsa, yaitu sikap gotong royong, demokratis, dan kearifan budaya Jawa yang terdiri dari eling sangkan paraning dumadi, mikul dhuwur mendem jero, rukun agawe santoso. Yang pada intinya adalah “kita harus mengingat asal-usul agar kehidupan kita menjadi rukun dan tentram.”
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. 1998. Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta : IKIFA Press. hlm. 20.
Buchari, Ibrahim. 1983. Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia (Terjemahan). Jakarta: FIS UI.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kartodirjo, Suyatno. 1990. Pengkajian Sejarah Mengenai Kebudayaan Daerah dan Pengembangan (Laporan Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Gramedia. hlm.163.
Mulder, Niels. 1981. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Renier, G.J.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.113.
Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Slamet, DS. 1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Peristiwa Kepercayaan. Depdikbud.
Subagya, Rahmat. 1987. Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar