Rabu, 17 Desember 2014

sedekah bumi

Upacara sedekah bumi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya dan Allah juga yang telah menjaganya, dengan berbagai perubahan musim yang telah mempengaruhi siklus bumi agar seimbang dan berbagai fenomena Alam lain yang kadang manusia tak dapat menyadari bahwa semua itu menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Oleh karena itu, salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan bumi dengan segala isinya yaitu dengan melaksanakan ritual upacara sedekah bumi.
Upacara Sedekah bumi merupakan sebuah ritual yang biasanya di lakukan oleh masyarakat jawa, sedekah bumi berarti menyedekahi bumi atau niat bersedekah untuk kesejahteraan bumi. Bersedekah adalah hal yang sangat di anjurkan, selain sebagai bentuk dari ucapan syukur atas segala nikmat yang telah di berikan Allah, bersedekah juga dapat menjauhkan diri dari sifat kikir dan dapat pula menjauhkan diri dari musibah. Melihat dari semua itu, sungguh sangat perlu untuk melaksanakan ritual sedekah bumi. Bumi yang hakikatnya sebagai tempat hidup dan bertahan hidup bagi semua makhluk yang ada didalamnya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang sejatinya adalah khalifah atau pemimpin di muka bumi ikut menjaga dan mendo’akan agar keselamatan dan kesejahteraannya terjaga. Bila bumi sejahtera, tanah subur, tentram, tidak ada musibah, maka kehidupan di bumi pun akan terjaga dan manusia pun pada akhirnya yang memetik dan menikmati kesejahteraan itu.
Masyarakat Desa Mayong kidul sebagian besar masih peduli pada pelaksanaan upacara-upacara adat, mereka masih meyakini akan manfaat dari pelaksanaan upacara adat yang sudah terselenggara sejak zaman dahulu, sehingga mereka masih melestarikan upacara-upacara adat. Salah satu upacara adat yang masih dilestarikan adalah upacara adat Sedekah Bumi. Yang menarik untuk dikaji dari upacara adat Sedekah Bumi ini adalah terjadinya akulturasi budaya antara Islam dan budaya Jawa setempat.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya adanya penelitian tentang salah satu bentuk ungkapan budaya daerah yang masih dilakukan sekelompok masyarakat  terkait dengan upacara tradisional yang patut untuk dilestarikan agar tidak hilang ditelan oleh kemajuan zaman. Penelitian ini diberi judul Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Kecamatan Mayong, Jepara.
B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih mengarahkan pada penelitian ini, maka perlu adanya ruang lingkup penelitian. Adapun batasan dalam penelitian ini adalah deskripsi upacara adat Sedekah Bumi yang meliputi prosesi pelaksanaan upacara, tujuan upacara, manfaat upacara, serta pihak-pihak yang terlibat dalam upacara. Sedangkan yang berkaitan dengan pembahasan atau analisis hanya mencakup mengenai tujuan, simbol dan makna upacara bagi masyarakat, dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Bertitik tolak dari ruang lingkup penelitian, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa diadakan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara?
2. Bagaimana bentuk pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara?
3. Apa Manfaat pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi menurut masyarakat Mayong kidul, Jepara?
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a.    Untuk menjelaskan latar belakang pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara.
b.    Untuk mendeskripsikan bentuk pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara.
c.    Untuk mengungkap manfaat pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi menurut masyarakat Desa Mayong kidul, Jepara.
D.    Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan :
Menjadi tambahan pustaka terhadap wacana sejarah dan budaya tradisional Indonesia
b. Bagi penelitian ilmu pengetahuan :
Menjadi bahan penelitian lebih lanjut untuk menganalisa pelaksanaan ritual Upacara Sedekah Bumi dan Pengaruhnya bagi masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi masyarakat setempat dalam memahami Upacara Sedekah Bumi.
b. Bagi peneliti :
Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan informasi mengenai Upacara Sedekah Bumi sebagai salah satu budaya asli Indonesia yang harus dilestarikan.
                                                  BAB II
KAJIAN TEORI

Warga Desa Mayong kidul, Jepara menggelar upacara Sedekah Bumi. Warga beramai-ramai membuat seserahan serta tumpeng buah dan nasi sesuai tradisi nenek moyang. Sekitar pukul 09.00 WIB warga terlihat berduyun-duyun memenuhi kawasan Mayong kidul. Warga yang didominasi para ibu-ibu ini membawa berbagai seserahan yang dibungkus kain. Isinya berupa makanan siap santap, seperti nasi kuning, roti, bahkan pisang ataupun buah-buahan untuk ditukar kepada seserahan warga lainnya. Menurut bapak Sudirman (46)[1] “Sedekah bumi adalah sebuah upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa, yang pelaksanaannya diikuti oleh seluruh warga desa dan setiap masing-masing orang membawa “berkat” atau sebuah nasi dengan lauk pauknya dari rumah. Kemudian warga berkumpul di “Balai desa”. Menurut bapak Sudirman Pada zaman dahulu sebelum ada “Balai Desa” Upacara sedekah bumi dilaksanakan di rumah kepala desa/Lurah, tetapi ketika sudah ada “Balai Desa” maka acara dilaksanakan di “Balai desa”. “balai desa” adalah sebuah tempat yang dipergunakan oleh perangkat desa untuk melayani administrasi warga dan dipergunakan warga masyarakat untuk berkumpul ketika akan mengadakan musyawarah desa. Tradisi sedekah bumi ini rajin digelar warga setiap setahun sekali yaitu Sedekah bumi dilaksanakan pada bulan “Apit” atau Dzul Qa’dah yaitu menurut penanggalan masehi jatuh pada bulan oktober sesudah tanggal 10, namun bisa disesuaikan dengan waktu panen raya.
Tujuan dari dilaksanakan upacara sedekah bumi supaya keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat menyertai seluruh warga desa mayong kidul dan sekitarnya. Bapak Sudirman menuturkan bahwa Menurut kepercayaan orang Jawa Sedekah bumi harus dilakukan dengan tujuan untuk “menyelameti” atau “menyedekahi” sawah yang dimiliki, agar hasil pertanian melimpah, maka bumi yang mereka tanami tersebut harus diselameti agar tidak ada gangguan. “Karena, segala rezeki yang kita dapat itu tidak hanya berasal dari kita sendiri, melainkan lewat campur tangan Tuhan,”[2] kata Ketua Panitia Sedekah Bumi, Wayan Runtun Aribawa (59) saat ditemui di lokasi, Jum’at (14/10/2011). Pria ini telah 10 tahun berturut-turut mengawal sedekah bumi, warga diajarkan untuk terus mendekat pada Tuhan. Menurutnya, rezeki itu tidak semata uang, tapi juga kebahagiaan, kenyamanan dan keamanan berkehidupan dalam masyarakat. Upacara sedekah bumi menurut kepercayaan di Desa Mayong kidul, wajib dilaksanakan setiap tahun sekali. Biasanya dengan melaksanakan upacara sedekah Bumi dipercaya akan mendatangkan kebaikan. Kami percaya bahwa bumi yang ditempati akan aman dan tidak terjadi bencana, Apabila “diselameti”. Tutur bapak Wayan.
Ketika bapak Sudirman ditanya mengenai apakah tradisi sedekah bumi ini bertentangan dengan ajaran syariat islam, menurut beliau tidak, dikarenakan meskipun upacara sedekah bumi ini merupakan warisan tradisi leluhur yang selalu dilaksanakan secara turun temurun setiap tahun namun substansi dari upacara sedekah bumi ini tidak bertolak belakang dengan ajaran Agama Islam, yaitu sebagai bentuk syukur terhadap anugerah yang telah Allah berikan. menurut kepercayaan kami “Upacara tersebut dilaksanakan untuk mengucap rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil bumi yang telah diberikan kepada Kami setiap tahun. Karena mayoritas mata pencaharian di desa kami adalah bertani. Disamping itu, Kita juga harus bersahabat dengan Alam dan dari hasil Bumi itulah kita memperoleh rezeki. Ini mengingatkan kami, bahwa bumi beserta alam seisinya adalah milik Allah SWT, dan di bumi inilah Kami menjalani kehidupan.” Tutur bapak Sudirman.    
Selanjutnya ketika ditanya apakah tradisi ritual sedekah bumi masih relevan dengan kehidupan saat ini yang sangat moderen, Menurutnya masih, Karena Upacara Sedekah Bumi sudah menjadi tradisi di desanya dan masyarakat Jawa  pada umumnya. Mezkipun di era zaman modern seperti ini, mengucap rasa syukur harus selalu dilaksanakan. “Dan dengan cara Upacara sedekah Bumi itulah kami mengucap syukur secara bersama-sama seluruh warga desa. Walaupun pada kenyataannya, pertanian di daerah kami pada zaman modern ini sudah tidak sebanyak dahulu, karena penerus atau generasi muda biasanya lebih memilih pekerjaan lain daripada bertani. Tetapi Upacara Sedekah Bumi masih tetap dilaksanakan sampai saat ini. Karena itu sudah menjadi tradisi kepercayaan masyarakat di desa kami.” Tutur bapak Sudirman.
Upacara sedekah bumi dipimpin oleh tetua adat yaitu orang yang dianggap sesepuh di desa tersebut, atau bisa juga oleh mudin yaitu orang yang dianggap sebagai tokoh agama di desa tersebut. Menurut bapak Sudirman, Pelaksanaan upacara sedekah bumi di desa Mayong kidul dilakukan oleh seluruh warga desa dan diikuti perwakilan perangkat desa, yang dipimpin oleh seorang “mudin”, Modin ini ditetapkan sebagai pemimpin upacara sedekah bumi berdasarkan kepercayaan, bahwa modin merupakan orang yang mengerti urusan agama, dan diberi wewenang untuk memimpin kegiatan keagamaan mulai dari mengurusi pernikahan, mengurusi orang meninggal dunia dan memimpin upacara kenduri atau hajatan. Upacara yang dilakukan hanya sederhana saja, seluruh warga masyarakat masing-masing membawa “Berkat” atau nasi dan lauk pauk yang dibawa dari rumah. Kemudian seorang “mudin” memimpin do’a, setelah do’a selesai “berkat” yang dibawa masing-masing tersebut dimakan secara bersama-sama. Sesudah acara makan selesai diperbolehkan untuk pulang, tetapi biasanya untuk Bapak-bapak tetap tinggal untuk mengobrol. Kemudian pada malam harinya, diadakan hiburan “wayang orang” atau “ketoprak” untuk menghibur seluruh warga desa.
Gelaran sedekah bumi ini juga dihadiri Walikota Jepara, Tri Risma Harini. Meski datang terlambat, Risma tak lupa mengacungkan jempol untuk masyarakat dan warga desa mayong kidul. Pakem tradisi yang masih lekat ditambah keasrian tempat tinggal di kawasan desa mayong kidul mendapat pujian dari Risma.  Sementara itu, ketika acara sampai di tukar-menukar seserahan, warga tak bisa terhindar untuk saling berebut. Selain menukar seserahan, warga juga menyerbu tumpeng buah setinggi hampir 2 meter yang telah disediakan panitia.
“Nggak tau dapat yang mana, yang penting senang bebarengan,” kata salah satu warga desa mayong kidul, Suharti (46) saat tengah berebut tumpeng buah.[3] Dalam sekejap, tumpengan buah yang terdiri dari buah salak, apel, jeruk, belimbing, jambu, mentimun, dan pisang. Sedangkan pucuk tumpeng, yang diduduki buah semangka dan nanas menjadi incaran anak-anak balita yang tidak sungkan untuk berdiri di atas meja tumpeng. Acara sedekah bumi ini dimeriahkan oleh Kelompok Karawitan Sari Laras beserta rombongan penari Remo dan sinden-sinden.
 
2.      Upacara Adat di Tanah Jawa
Pada masyarakat Jawa, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan oleh para pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut Mulder[4], pandangan hidup masyarakat Jawa sangat menekankan pada ketenteraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat serta masyarakat di bawah alam. Individu memiliki tanggung jawab berupa hak dan kewajiban terhadap masyarakat, dan masyarakat mempunyai kewajiban terhadap alam.
Hubungan manusia dengan individu manusia (mikro kosmos) dilestarikan dengan upacara-upacara (ritual). Hubungan manusia dengan alam (makro kosmos) melahirkan kepercayaan yang juga dilestarikan. Dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara individu dengan leluhurnya ataupun dengan alam (hubungan mikro kosmos dan makro kosmos) maka dilakukan upacara-upacara tradisional. Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua agama tersebut (Hindu dan Budha) didatangkan untuk keperluan legitimasi kekuasaan raja. Di samping itu menurut Buchori,[5] Hindu dan Budha didatangkan untuk keperluan istana guna manyerap pengetahuan tentang teknik membuat candi sekaligus merupakan aktivitas untuk menunjukkan kebesaran kraton, upacara istana, teknik memerintah dan sebagainya.
Pengaruh Hindu dan Budha lebih terserap pada kalangan elit dan penguasa daripada kalangan masyarakat umum, yang hidup jauh dari pusat kerajaan. Masyarakat umum lebih banyak melakukan tradisi-tradisi dari kebudayaan aslinya dan mereka memegang teguh pada adat istiadat serta kepercayaan lama yang diperoleh dari nenek moyangnya. Maraknya tradisi memperingati dan ataupun merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian upacara itu, disamping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai manifestasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rohani. Hal ini masih cukup kuat berakar pada sebagian masyarakat Jawa modern. Penelitian Kartodirdjo[6] membuktikan masih adanya tradisi Jawa sebagai suatu sikap kuat yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, meskipun proses pembangunan dan modernisasi terus berlangsung.
Menurut Magnis Suseno, sebagaimana dikutip Sarjono,[7] ciri khas kebudayaan Jawa adalah terletak pada kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri gelombang kebudayaan dari luar, namun tetap mampu mempertahankan keasliannya. Demikian pula hasil penelitian Sumardjoko dan Murofiquddin (1998) maupun Setyadi (2001) antara lain membuktikan bahwa meskipun masyarakat Jawa sudah memasuki era modern tetapi keyakinan terhadap kekuatan arwah tetap tidak usang.
Kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya sarat dengan nilai-nilai religi. Religi berasal dari kata “religare” yang berarti meyakini, bersatu padu dengan samadi. Religi sebagai gerak keterlibatan hari nurani manusia yang meyakini adanya nilai-nilai kudus sehingga membuat manusia tunduk dengan sendirinya tanpa adanya suatu paksaan. Fraser, sebagaimana dikutip Koentjaraningrat[8] antara lain menyebutkan bahwa munculnya religi bersifat evolusif, yakni mula-mula manusia memecahkan persoalan hidupnya melalui pengetahuan dan akalnya. Soal-soal yang tidak terpecahkan dengan akal diselesaikan dengan “magic”, dan akhirnya manusia menyadari bahwa alam didiami oleh makhluk halus. Bersamaan dengan makin lemahnya kemampuan rasional manusia mengakibatkan tumbuh suburnya keyakinan terhadap sesuatu yang gaib, seperti keyakinan terhadap dewa, alam, hantu, dan roh nenek moyang. Religi merupakan suatu respons terhadap kebutuhan akan konsepsi yang tersusun mengenai alam semesta dan sebagai mekanisme dalam rangka mengatasi kegagalan akibat ketidakmampuan manusia. Jadi, religi sebenarnya merupakan segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dari kekuasaan makhluk halus, seperti roh, dewa dan sebagainya yang menempati alam.
Masyarakat Jawa mengenal berbagai ibadat dan upacara trandisional. Nenek moyang orang Jawa hidup dalam alam pikiran sederhana yang berpengaruh pada cara berpikirnya. Pandangan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan dunia sering sempit dan lebih dipengaruhi hal-hal di alam gaib. Mereka beranggapan dunia dihuni bermacam-macam makhluk halus dan kekuatan gaib yang dapat menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Menghadapi dunia gaib, manusia menggunakan perasaan, misalnya: menghormati, mengagungkan, takut, cinta dan ngeri. Perasaan ini muncul dalam berbagai perbuatan yang berhubungan dengan dunia gaib melalui upacara.
Menurut Koentjaraningrat, upacara selamatan dapat digolongkan menjadi enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari yaitu selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara menusuk telinga, sunat, kematian dan setelah kematian. Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah, pertanian dan setelah panen padi. Selamatan yang berhubungan dengan hari (bulan besar Islam), selamatan pada saat-saat tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat) janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.
Pada dasarnya upacara merupakan permohonan dalam pemujaan atau pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan leluhur yang menguasai kehidupan manusia, sehingga keselamatan serta kesengsaraan manusia tergantung pada kekuasaan itu. Menurut Geertz,[9] upacara merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diadakan secara tepat menurut waktu dan tempat, peristiwa atau keperluan tertentu. Kemudian, menurut Subagya[10], upacara merupakan bentuk kegiatan simbolis yang menkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dengan menempatkan manusia dalam tata alam tersebut, di mana dalam ritus, atau upaya tersebut dipakai kata-kata, doa-doa, dan gerak-gerak tangan atau badan. Sementara itu Koentjaraningrat[11] memformulasikan bahwa sistem upacara mengandung empat komponen, yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, serta orang yang melakukan dan memimpin upacara. Semua yang berperan dalam upacara tersebut sifatnya sakral sehingga tidak boleh dihadapi dengan sembarangan, karena dapat menimbulkan bahaya. Demikian juga orang yang berhadapan dengan hal-hal keramat harus mengindahkan berbagai macam larangan.
Dari berbagai pendapat tentang upacara dapat dipahami bahwa upacara yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya merupakan tata alam sesuai dengan adat kebiasaan untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup serta sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau dari alam sekitarnya. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa dan juga dengan Yang Maha Kuasa. Para penganut agama asli Indonesia percaya adanya aturan tetap, yang mengatasi segala kejadian di dunia yang dilakukan manusia.
Kelakuan simbolis manusia yang menghadapkan keselamatan itu bentuknya banyak, seperti: menceritakan kembali mitos asal, mementaskan isi mitos, melakukan upacara adat, menghadirkan tata alam dalam tari-menari, cara khusus menanam atau mengetam padi, beraneka perayaan korban, makan bersama (selamatan), penegasan jenjang peralihan dalam hidup dan lain-lain (Subagya, 1987). Kesediaan manusia mengikuti tata upacara yang ditentukan karena percaya aturan itu sebagai kelakuan simbolis, yang menghadapkan keselamatan yang menceritakan kembali mitos asal.
Upacara tradisional adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan yang bersifat turun temurun, antara lain pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, upacara yang semuanya dilakukan menurut adat atau aturan agama dan keyakinan yang dianut manusia pendukungnya. Upacara itu juga merupakan kegiatan sosial yang meliputi warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama dan menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Tradisi memperingati atau merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan upacara merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus manifestasi upaya manusia mendapatkan ketenangan rohani, yang masih kuat berakar sampai sekarang.
3.      Upacara Sedekah Bumi sebagai salah satu upacara adat  di Jawa
Sedekah bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya  peninggalan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut dinamakan sesaji bumi/ laut. Pada masa Islam, terutama masa Wali songo (500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan /mensyiarkan ajaran Allah yaitu ajaran tentang Iman dan Takwa atau didalam bahasa jawa diistilahkan eling lan waspodo yang artinya tidak mempersekutukan Allah dan selalu tunduk dan patuh mengerjakan perintah dan menjauhi larangan AIIah. Untuk mensyiarkan dan melestarikan ajaran Iman dan Takwa, maka para Wali menumpang ritual budaya sesaji bumi/laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.[12]
Sebenarnya ritual upacara sedekah bumi sudah lama dikenal bangsa indonesia jauh sebelum mencapai kemerdekaan dengan mendirikan negara republik indonesia. Sebelum agama islam masuk ke tanah air, waktu itu belum muncul nama indonesia, sebagian penduduk berpegang pada kepercayaan lama, yang dalam istilah ilmu agama (science of religion) disebut animisme, dinamisme, fetisisme, dan politheisme. Sebagian yang lain memeluk agama hindu dan buddha. Mereka mempercayai adanya kekuatan supernatural yang mengusai alam semesta, berupa dewa-dewa. upacara-upacara yang dimaksudkan untuk memuja dewa laut dan dewa bumi dibiarkannya tetap berjalan, meski sebagian penduduk itu sudah memeluk agama islam. Hanya saja, mantra-mantranya diganti dengan doa-doa secara islam, dan nama upacara disesuaikan dengana ajaran islam, yaitu dengan istilah sedekah laut dan sedekah bumi. Perubahan yang menyangkut aspek teologis dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Ini merupakan salah satu metode dakwah mubaligh pada masa awal kedatangan islam di tanah air indonesia.
Kedatangan agama islam ke nusantara dibawa oleh para mubaligh yang dalam menyiarkan agamanya menggunakan metode persuasif. Mereka tidak secara drastis mengadakan perubahan terhadap kepercayaan dan adat istiadat lama, melainkan sampai batas-batas tertentu, memberikan toleransi, membiarkannya tetap berlangsung dengan mengadakan modifikasi-modifikasi seperlunya. di antaranya ada dewa yang mengusai lautan (varuna), dan menguasai bumi (pertiwi). Sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada dewa-dewa tersebut, mereka mengadakan upacara-upacara (ritual), dengan membaca mantra-mantra dan mempersembahkan sesaji. Tujuannya agar para dewa memelihara keselamatan penduduk, menjauhkan mereka dari malapetaka, dan melimpahkan kesejahteraan, berupa meningkatnya jumlah ikan di laut dan hasil pertanian di darat.
Pada masyarakat jawa, memang terkenal dengan beragam jenis tradisi budaya yang di ada di dalamnya. Baik tradisi kultural yang bersifat harian, bulanan hingga yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya jawa tanpa terkecuali. Dari beragam macamnya tradisi yang ada di masyarakat jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi serta menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa tersebut. Salah satu tradisi masyarakat jawa yang hingga sampai sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan sudah mendarah daging serta menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa pada setiap tahunnya adalah sedekah bumi.
Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang jawa terdahulu. Ritual sedekah bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang berprofesi sebagai petani dan nelayan yang menggantungkan kehidupan keluarga dan sanak famili mereka dari mengais rizki memanfaatkan kekayaan alam yang ada di bumi. Bagi masyarakat jawa khususnya para kaum petani dan para nelayan, tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan hanya merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian yang sudah menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur (budaya) jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan lokal (Local Wisdem) khas bagi masyarakat agraris maupun masyarakat nelayan khususnya yang ada di pulau jawa.
Pada acara upacara tradisi sedekah biasanya seluruh masyarakat sekitar membuat tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di balai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat-tempat untuk di do’akan oleh tetua adat. usai di do’akan oleh sesepuh atau tetua adat, kemudian kembali diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di do’akan oleh sesepuh kampung atau tetua adat setempat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa pulang nasi tumpeng tersebut untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing.
Menurut adat istiadat dalam tradisi budaya ini, di antara makanan yang menjadi makanan pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam panggang. Sedangkan yang lainnya seperti minuman, buah-buahan dan lauk-pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi perioritas yang utama. Dan pada acara akhir, nantinya para petani biasanya menyisakan nasi, kepala dan ceker ayam, ketiganya dibungkus dan diletakkan di sudut-sudut petak sawahnya masing-masing.
Dalam puncak acara ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan do’a bersama-sama oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh tetua adat. Do’a dalam sedekah bumi tersebut umumnya dipimpin oleh tetua adat atau sesepuh kampung yang sudah sering dan terbiasa memimpin jalannya ritual tersebut. Ada yang sangat menarik dalam lantunan do’a pada ritual tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa tersebut adalah kolaborasi antara lantunan kalimat-kalimat Jawa dan yang dipadukan dengan khazanah-khazanah doa yang bernuansa Islami.
Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Manurut cerita dari para nenek moyang orang jawa terdahulu, Tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Dan ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat jawa khususnya para petani dan para nelayan untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia. Sehingga dengan begitu maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang menempatinya.
Selain itu, Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang telah diberikannya. Sehingga seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris menuai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam.
4.      Mitos dalam Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara
Tradisi Larungan dan Nadran yang kemudian disebut Upacara Sedekah Bumi merupakan salah satu upacara adat yang begitu sakral dan memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tersembunyi disela-sela acara ritual pelaksanaan pesta rakyat, sekaligus pembuktian adanya ajaran islam yang mengilhami pelaksanaanya. Termasuk dalam pakaian yang digunakan, kuwu (kepala desa) menggunakan Iket (blangkon), baju takwa lurik dasar kuning, kain panjang, sumping kembang melati, memegang Teken (Tongkat paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang, sumping melati, gulung kiyong, dan selendang jawana.
Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan sekarang ini ada pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan.
Dalam lakon Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca. Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat mengalahkan mereka, bahwa para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama menyentuh bumi. Maka semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa, dan menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menyentuh bumi. Prabu Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya terbunuh oleh Gatotkaca, diatas Anjang-anjang yang telah dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura. Habislah para putra Manik Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi penyebab datangnya musim penghujan.
Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat untuk menyambut datangnya musim penghujan. Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas tiap tahun, sekarang Sedekah Bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula. Namun, paling tidak tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato tata masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambakan konservasi dari pada perubahan.
5.      Peralatan dan Prosesi Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara
Dalam pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi atau masyarakat Mayong kidul juga menyebutnya dengan istilah Upacara Jembul Tulakan, disuguhkan dua macam Jembul. Jembul yang besar di depan atau sering disebut Jembul Lanang, sedangkan jembul kecil berada di belakang disebut dengan jembul wadon. Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul Wadon tidak. Jembul Lanang didalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti jadah (gemblong), tape ketan, apem dan sebagainya, sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya.
Jumlah-jembul disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo. Antara lain, pertama, jembul Krajan yaitu jembul dari penduduk dukuh Krajan, tempat kediman Ki demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat. Kedua, Jembul Ngemplak merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas perjuanganya membuka perdukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo seorang Nayoko Ratu Kalinyamat. Ketiga, jembul Winong adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari kabupaten Jepara sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder. Keempat, Jembul Drojo merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaanya maka dibuatlah golek yang menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat. Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu-persatu dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukan tarian penghormatan dengan tayub.
Upacara Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaran yang dikenal dengan istilah kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan oleh perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada masa sekarang masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar tercipta kehidupan yang tentram, bersih dari malapetaka dan dari segala kesulitan yang menimpa penduduk. Disamping itu sekaligus untuk mengingatkan kepada petinggi agar selalu bersih dalam segala tindakan dan langkahnya, tidak melanggar larangan-larangan agama, larangan pemerintah dan menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam memimpin masyarakat desa Mayong kidul. Setelah pencucian kaki petinggi maka dilakukan selamatan sebagai lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar desa Mayong kidul tetap selamat sentosa dan hasil bumi pada tahun mendatang melimpah ruah sehingga kehidupan penduduk Mayong kidul menjadi sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan.
Acara mengitari Jembul sebanyak tiga kali merupakan inti dari proses Jembul Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul dilakukan oleh petinggi diikuti oleh ledek atau penari tayub dan para perangakat desa. Prosesi ini dilakukan untuk menggambarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat melakukan pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap beliau sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya. Kesetiaan para nayoko projo ini ditunjukan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana ini pada masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar para pemimpin desa Mayong kidul selalu menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada staf perangkat desanya dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Dengan pemantauan tersebut akan tercipta keadaan desa yang aman sentausa. Di samping memantau para pembantunya, pemimpin desa juga perlu memperhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun langsung mengenal masyarakat secara dekat dari perdudukuhan–perdukuhan yang ada, sehingga terciptalah kondisi di desa yamg tertib. Agar Pemimpin benar-benar dapat bertindak mengayomi dan nganyemi dalam arti melindungi dan menciptakan ketemtraman desa yang dipimpinnya.
Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan Resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat Desa Mayong kidul secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kajahatan-kejahatan dari Desa Mayong kidul. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan, di dukuh Pejing juga melakukan sedekah bumi yang disebut sedekah bumi Pejing. Hal ini berkaitan dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk selaku ketua pedukuhan sakit sehingga tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah Cabuk, anak-anaknya serta masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut diizinkan melakukan upacara jembul sendiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan ini terkabul, masyarakat di dukuh tersebut diizinkan melakukan sedekah bumi sendiri oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul. Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, sehingga diadakanlah upacara sedekah bumi Pejing.
Diizinkannya Pejing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki Barata selaku Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga untuk tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Ki Barata. Syaratnya adalah sedekah bumi di Kademangan Tulakan harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing, Waktu pelaksanaan sedekah bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan sedekah bumi Tulakan. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat Pejing masih bisa mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan dilakukan pada hari senin pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seminggu kemudian yaitu senin Wage. Syarat utama lainnya adalah tidak adanya jembul dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkan adalah Tayub.
Tradisi Jembul Tulakan dilaksanakan setiap bulan Apit (Dzulqo’dah ) tepatnya pada hari senin sesudah upacara pada malam Jum’at Wage di Desa Sonder, hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di Desa Sonder pada waktu malam Jum’at Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para Nayoko Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan perlengkapan sang Ratu). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh dukuh yang ada pada waktu itu dan menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarkan hulu bekti. Prosesi upacara yang menggambarkan penyembahan jembul-jembul oleh tledek (penari Tayub wanita) mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu sang nayoko menghadap, sang ratu mendapat penghormatan dari dayang dayang atau pendamping. Tarian tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan para nayoko yang diwujudkan dengan jembul-jembul.
6.      Manfaat dari pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi
Dari sisi atraksi budaya, Upacara Sedekah Bumi cukup menarik karena melibatkan seluruh masyarakat yang merasa memiliki tradisi tersebut. Dengan terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu terpelihara dari waktu ke waktu dengan berbagai nuansa-nuansa baru dengan tetap mempertahankan persyaratan upacara yang dianggap harus ada, baik dari segi peralatan maupun langkah- langkah yang harus dilalui. Upacara Sedekah Bumi ini, disamping menarik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut sebagai bagian dari aktifitas budaya penyelarasan dengan alam lingkungan, juga menjadi tontonan budaya bagi masyarakat lain yang tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan ini. Dengan berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat pendukung maupun yang datang sebagai penonton, maka tradisi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata, minimal wisata local.
Munculnya aktifitas budaya ini juga dibarengi dengan aktifitas ekonomi. Setiap kali perayaan pasti mendatangkan penjual makanan kecil maupun warung-warung souvenir dan oleh-oleh yang menjadi makanan khas disana. Atraksi ini mampu mendatangkan betuk kegiatan ekonomi baru sebagai unit usaha yang mendukung kegiatan pariwisata meskipun masih dalam lingkup kecil atau local. Namun demikian lama kelamaan dengan tersebarnya informasi mengenai lokasi-lokasi wisata yang ada di Kabupaten Jepara, diharapkan Upacara Sedekah Bumi ini dapat menjadi daya tarik wisata yang bersifat nasional.
Apalagi melihat perkembangan yang ada di Jepara sekarang ini berkaitan dengan hadirnya para pengusaha asing untuk melakukan kegiatan ekonomi pada industri kerajinan ukir. Biasanya para pendatang asing tersebut juga tertarik dengan tradisi budaya yang masih terpelihara untuk lebih mudah menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Langkah strategis yang ditempuh oleh Dinas Pariwisata Jepara juga dapat dijadikan indikator bahwa Upacara Sedekah Bumi memberikan kontribusi pada daya tarik wisatawan, dengan cara memasukkannya sebagai salah satu jadwal paket wisata yang dapat dikunjungi. Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten, baik berupa pajak penjualan pada warung-warung dan pemasukan bagi masyarakat sendiri sebaagi penjual. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten sendiri mempunyai kepedulian untuk melestarikan tradisi ini. Di satu sisi sebagai salah satu sumber pemasukan daerah, sisi lainnya memang sudah menjadi bagian sumber mata pencaharian tambaha masyarakat sekitar objek wisata tersebut dengan menjual makanan, jasa penitipan sepeda dan transportasi.
Masyarakat secara umum merasa bahwa pelaksanaan tradisi sedekah bumi memberikan manfaat. Pertama, sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat talah diberi rezeki hasil panen. Kedua sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik. Mampu mengayomi dan menciptakan ketentraman dan kasejahteraan seluruh masyarakat. Ketiga, tadisi sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi masyarakat, berupa wayang maupun tayub. Keempat, pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk. Kelima, sebagai sarana untuk mengingat perjalan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat dibuktikan kebenarannya.
Terutama dalam tradisi sedekah Bumi ini adalah sejarah mengenai perjuangan ratu Kalinyamat. Menurut cerita masyarakat setempat yang selalu dituturkan melalui prosesi Sedekah bumi, pada waktu ratu bertapa yang memakan waktu cukup lama, banyak sekali rambut panjangnya rontok. Rambut-rambut tersebut kemudian dikumpulkan ditanam oleh Kasturi (sesepuh dukuh) bapaknya rukan sehingga seolah-olah seperti makam. Ada dua bumbung yang berhasil ditemukan, yang satu berisi rontokan rambut sedangkn satunya cacatan namun sulit dilacak keberadaanya dan hilang. Akan tetapi masyarakat meyakini bahwa meskipun buktinya belum ditemukan namun keberadaan Ratu Kalinyamat diyakini adanya.
7.      Refleksi Upacara Sedekah Bumi pada saat ini
Pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh  masyarakat Desa Mayong kidul Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara merupakan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia menjaga hubungan dengan penguasa alam (hablum minallah) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia  (hablum minannas). Hal ini dipertegas Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat: 67) bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Upacara sedekah bumidilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Apit bertepatan tanggal 14 Oktober 2011. Waktu ini dipilih oleh masyarakat karena didasarkan pada beberapa pertimbangan. Hari Jum’at merupakan hari yang baik untuk mengirimkan do’a kepada para leluhur. Pada hari ini dipercaya roh orang yang meninggal dunia akan pulang dan melihat sanak saudaranya. Bulan Apit dipilih karena pertimbangan bahwa pada bulan itu dipercaya oleh masyarakat sebagai bulan yang kurang baik, akan muncul berbagai bencana, rezeki kurang lancar. Oleh karena itu pada saat bulan Apit inilah saat yang tepat untuk melaksanakan upacara sedekah bumi dengan memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar seluruh warga desa selalu berada dalam lindungannya dan diberi rahmat yang berupa hidup damai tenteram dan sejahtera.
Pada zaman dahulu, upacara khormat bumi merupakan sarana pemujaan kepada nenek moyang dan sekaligus pemujaan kepada Dewi Sri (Dewa Kesuburan menurut mitologi agama Hindu) agar masyarakat dijaga dari hal-hal yang tidak diinginkan dan tanaman diberi kesuburan. Kini, hakekat upacara sedekah bumi adalah usaha bersama masyarakat memohon kepada Allah SWT agar selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari bencana serta selalu diberi kesejahteraan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat masih ada yang memiliki kepercayaan bahwa nasi hajatan memiliki berkah, sehingga ketika  nasi hajatan dibawa pulang akan digunakan sebagai pupuk tanaman dengan harapan tanaman tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah.
Generasi penerus perlu memiliki sikap menerima terhadap kesenian tradisional. Siraman rohani dalam pengajian umum dalam rangka upacara sedekah bumi dipandang sebagai sarana untuk memperdalam wawasan keagamaan. Persepsi yang salah terhadap upacara sedekah bumi yaitu bahwa sedekah bumi merupakan tradisi agama hindu-budha yang melakukan ritual-ritual terhadap dewa-dewa sedikit demi sedikit mulai terkikis, sehingga diharapkan pelaksanaan upacara sedekah bumi sejalan dengan ajaran agama Islam. Usaha masyarakat mempertahankan tradisi upacara sedekah bumi yang berasal dari tradisi pra aksara dengan memasukkan unsur ajaran agama Islam, menunjukkan telah terjadi sinkretisme antara tradisi pra sejarah dengan tradisi Islam. Pengajian umum, ketoprak dan wayang kulit menunjukkan tradisi pra Islam dan tradisi Islam.
Dalam pelaksanaan upacara sedekah bumi, ada beberapa nilai-nilai yang dapat direkomendasikan sebagai nilai-nilai yang perlu diwariskan kepada generasi penerus, yaitu
1.      Sikap religius masyarakat, yang tercermin sikap masyarakat yang selalu ingat kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Semakin manusia itu dekat kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menurunkan karunia dan rahmatnya yang dapat berupa kesejahteraan dan kedamaian.
2.      Selalu ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah mendirikan desa. Disamping itu ada beberapa sikap yang telah diperlihatkan oleh masyarakat Desa Mayong kidul dalam melaksanakan upacara sedekah bumi, dan sikap itu harus tertanam dalam hati para generasi muda, yaitu (1) sikap gotong-royong. Dalam melaksanakan hajatan upacara sedekah bumi, warga masyarakat saling bahu membahu, bekerja bersama-sama tanpa pamrih. (2) sikap hidup rukun saling tolong menolong  yang tercermin dari hidup guyub senantiasa terpelihara dalam kehidupan masyarakat Desa Mayong kidul. (3)  sikap masyarakat yang senantiasa memelihara silaturrahim sesama warga merupakan modal untuk hidup rukun, sebab dengan memelihara tali silaturrahim, akan tercipta hidup yang damai jauh dari rasa saling mencurigai.
8. Upacara Sedekah Bumi menurut Paradigma Fungsionalisme Struktural
Paradigma fungsionalisme struktural merupakan salah satu paradigma yang di pakai untuk mengkaji berbagai  masalah sosial dari kacamata sosiologi. Menurut paradigma  ini, masyarakat dianalogikan sebagai  sebuah sistem yang  terdiri dari berbagai bagian yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu jika ada  perubahan dalam bagian dari sistem tersebut maka akan menyebabkan perubahan yang lain. Semua bagian dalam sebuah sistem  akan bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk mencapai sebuah keseimbangan atau untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem itu sendiri. Jadi,  jika salah satu bagian dalam sistem tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya maka akan mengganggu fungsi dari bagian yang lain yang berimbas pada tingkat keseimbangan sistem.
Agama merupakan salah satu bentuk tingkah laku masyarakat yang dilembagakan.  Menurut paradigma fungsinalisme struktural, agama merupakan suatu lembaga sosial yang berfungsi untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat yang terkadang tidak dapat diperoleh melalui pemahaman sacara duniawi. Agama juga dianggap sebagai penyebab sosial (social causation) yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial dalam tubuh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat memiliki perasaan yang sanggup mengumpulkan mereka dalam suatu wadah, yang kemudian oleh Durkheim, agama dilihat sebagai sarana atau alat pemerkuat solidaritas sosial yang dapat  terlihat melalui kegiatan keagamaan dan pengabdian terhadap Tuhan.
Paradigma fungsionalisme juga melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa yang mampu meresapi setiap tingkah laku laku penganutnya. Malinowski dalam teori fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan agama dan fungsinya yang  diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.”  Mereka yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat dan merasakan bahwa agama merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang kemudian dapat memperkuat fungsi solidaritas.
Tradisi upacara sedekah bumi merupakan salah satu contoh konkrit dari aplikasi fungsi solidaritas sebuah ritual (agama). Tradisi ini bertujuan agar kita selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Jika dilihat, tradisi ini kurang rasional apabila memakai objek kuburan sebagai tempat untuk melakukan syukuran atas razeki yang diperoleh melalui hasil panen atau usaha yang lainnya. Namun, jika kita menggunakan pendekatan paradigma fungsionalisme struktural untuk menganalisisnya maka kita akan menyadari bahwa setiap hal yang sepertinya kurang masuk akal ternyata memiliki fungsi. Demikian pula apabila pelaksanaan upacara sedekah bumi dilakukan di kuburan. Hal tersebut mengandung fungsi pengingat untuk  semua warga desa  agar ketika  mendapatkan nikmat  atau berkah dari Tuhan mereka tidak lantas menjadi sombong atau bahkan lupa bersyukur kepada Tuhan, mengingat bahwa semua itu tidaklah abadi karena nantinya semua manusia akan meninggal juga  seperti mereka yang telah meninggal mendahului yang masih hidup menghadap Tuhan.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Durkheim bahwa adanya agama atau praktek ritual memiliki fungsi integrasi, peningkatan solidaritas bahkan membentuk masyarakat. Jika dikaitkan dengan tradisi sedekah bumi maka melalui tradisi tahunan ini telah mampu mengundang atau mengumpulkan satu masyarakat desa menjadi satu tanpa melihat status sosialnya dan dengan banyaknya masyarakat yang mengikuti tradisi ini maka solidaritas diantara mereka sebagai kesatuan kelompok atau komunitas semakin terjaga. Keseimbangan sosial pun juga dapat tercipta setidaknya dari situasi rukun yang terjalin oleh partisipan tradisi tersebut.
9. Tradisi dapat membentuk kehidupan yang ideal
Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan Budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum, mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan ditandai munculnya budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan (Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan terbengkalainya pengembangan kebudayaan bisa berakibat terjadinya kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa memiliki tradisi setempat.
Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat dapat menghormati tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya, seperti kata-kata ini: Ketahuilah, bahwa yang terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari sejarah”. Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 
Berdasarkan tempatnya, penelitian digolongkan menjadi tiga macam, yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan (Library Research), penelitian yang dilakukan di lapangan (Field Research), dan penelitian yang dilakukan di laboratorium (Laboratory Research).[13] Karena penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di lapangan, maka penelitian ini termasuk dalam Field Research, yang lebih merupakan studi tentang kajian budaya atau tradisi. Namun dalam tahap penyusunannya, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (Library Research) sebagai perbandingan dan penguat data-data yang berhasil ditemukan dilapangan.
Empat tahap metode sejarah yang digunakan dalam setiap penulisan sejarah adalah :
1. Pengumpulan Data (Heuristik)
Heuristik berasal dari bahasa Yunani heurisken yang berarti memperoleh. Sedangkan yang dimaksud heuristik adalah teknik atau seni mengumpulkan data yang tidak mempunyai peraturan-paraturan umum, ia tidak lebih dari suatu keterampilan menangani bahan.[14] Berkaitan dengan topik yang akan diteliti yaitu Upacara Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul, Jepara, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Jenis interview yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah bebas terpimpin, yaitu dengan tidak terikat kepada kerangka pertanyaan-pertanyaan, melainkan dengan kebijakan interviewer (pewawancara) dan situasi ketika wawancara dilakukan.
Dalam menggunakan interview tidak terlepas dari masalah pokok yang perlu diperhatikan seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yaitu: Pertama, seleksi individu untuk diwawancarai; kedua, pendekatan pada individu yang telah diseleksi untuk diwawancarai; ketiga, pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai serta untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancarai.[15] Adapun pihak yang dijadikan nara sumber atau informasi adalah warga asli desa Mayong kidul dan lebih ditekankan pada para pelaksana Upacara Sedekah Bumi, yaitu para sesepuh dan perangkat desa.
b. Dokumentasi
Dalam pengumpulan sumber tertulis, peneliti menggunakan metode dokumenter, yaitu teknik penelitian, teknik penyelidikan yang ditujukan karena penguraian dan penjelasan terhadap apa yang telah lalu melalui sumber dokumentasi. Metode ini dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber primer yaitu dari responden/subjek penelitian dan sumber sekunder yakni melalui sumber yang diperoleh dari dokumen dan buku dari beberapa sumber yang ada.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber untuk memperoleh data yang valid melalui kritik intern untuk mengetahui isi dan sumber sejarah yang dapat dipercaya atau tidak adanya upacara tersebut. Sedangkan kritik ekstern untuk mengetahui keaslian sumber sejarah yang ada pada upacara tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan data yang telah teruji kebenarannya berdasarkan konsep dan teori yang sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
4. Historiografi
Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi disini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Peneliti berusaha menyajikannya secara sistematis agar mudah dimengerti.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
  1. Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: bagian awal, bagian utama dan bagian akhir. Pada bagian awal terdiri atas: halaman sampul, kata pengantar, dan daftar isi.
Pada bagian utama terdiri atas lima bab, yaitu :
Bab pertama adalah: pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian. Pada bab ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyusunan laporan penelitian, sehingga dalam penyusunannya dapat dijelaskan secara sistematis sesuai yang telah ditentukan.
Bab kedua membahas tentang kajian teori mengenai upacara sedekah bumi di desa mayong kidul, jepara. Pembahasan pada bab ini meliputi Fenomena Sedekah Bumi di Desa Mayong kidul Jepara, Upacara Adat di Tanah Jawa, Upacara Sedekah Bumi sebagai salah satu Upacara Adat di Jawa, Manfa’at dari pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi, Refleksi Upacara Sedekah Bumi pada saat ini, dan Upacara Sedekah Bumi menurut Paradigma Fungsionalisme Struktural.
Bab ketiga berisi tentang Metodologi Penelitian yang dipakai pada penelitian ini. Karena penelitian ini berupa studi tentang kajian budaya atau tradisi maka penelitian ini termasuk dalam Field Research (penelitian lapangan). Namun dalam tahap penyusunannya, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (Library Research) sebagai perbandingan dan penguat data-data yang berhasil ditemukan dilapangan. Sedangkan dalam tahap pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik Wawancara dan Dokumentasi.
Bab keempat berisi tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan. Sedangkan Bab Kelima merupakan penutup, dalam hal ini meliputi Kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan dan Saran-saran.
Bagian akhir dari laporan penelitian ini berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Lampiran tersebut berupa angket penelitian sebagai salah satu alat pengumpul data.
B.     Pembahasan Hasil Penelitian
Sedekah bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya  peninggalan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut dinamakan sesaji bumi/ laut. Pada masa Islam, terutama masa Wali songo (500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan /mensyiarkan ajaran Allah yaitu ajaran tentang Iman dan Takwa yaitu dengan mengubah substansi dari ritual budaya sesaji bumi/laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.
Pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh  masyarakat Desa Mayong kidul Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara merupakan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia menjaga hubungan dengan penguasa alam (hablum minallah) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia  (hablum minannas). Hal ini dipertegas Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat: 67) bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Pada masyarakat Jawa, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan oleh para pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut Mulder, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat menekankan pada ketenteraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat serta masyarakat di bawah alam.
Dari hasil penelitian ini dapat dipahami bahwa upacara yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya merupakan tata alam sesuai dengan adat kebiasaan untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup serta sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau dari alam sekitarnya. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa dan juga dengan Yang Maha Kuasa.
Dalam pelaksanaan upacara sedekah bumi, ada beberapa nilai-nilai yangperlu diwariskan kepada generasi penerus, yaituSikap religius masyarakat, yang tercermin sikap masyarakat yang selalu ingat kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Sikap selalu ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah mendirikan desa.Dan Sikap hidup rukun saling tolong menolong yang tercermin dari hidup guyub senantiasa terpelihara dalam kehidupan masyarakat Desa Mayong kidul.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Maraknya berbagai tradisi untuk memperingati dan ataupun merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian upacara itu, disamping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai manifestasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rohani.
2.      Ritual sedekah bumi yang selalu dilaksanakan masyarakat desa mayong kidul  merupakan bukti masih kuatnya kepercayaan sebagian orang Jawa terhadap kekuatan-kekuatan dunia gaib, sekalipun mereka saat ini sudah memasuki era modern.
3.      Upacara sedekah bumi di desa mayong kidulkecamatan mayongkabupaten jepara bermanfaat sebagai sarana untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang ada dalam masyarakat.
B.     Saran
Upacara Sedekah Bumi merupakan salah satu bentuk ritual warisan nenek moyang masyarakat desa mayong kidul yang sudah mengalami perpaduan dengan ajaran agama islam sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya  karena tujuan diselengarakan upacara sedekah bumi adalah agar Allah SWT selalu memberi kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman, dan dijauhkan dari segala malapetaka. Semoga Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara sedekah bumi dapat dijadikan sebagai nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh generasi muda penerus bangsa, yaitu sikap gotong royong, demokratis, dan kearifan budaya Jawa yang terdiri dari eling sangkan paraning dumadi, mikul dhuwur mendem jero, rukun agawe santoso. Yang pada intinya adalah “kita harus mengingat asal-usul agar kehidupan kita menjadi rukun dan tentram.”

DAFTAR PUSTAKA 
Abdurrahman, Dudung. 1998. Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta : IKIFA Press. hlm. 20.
Buchari, Ibrahim. 1983. Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia (Terjemahan). Jakarta: FIS UI.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kartodirjo, Suyatno. 1990. Pengkajian Sejarah Mengenai Kebudayaan Daerah dan Pengembangan (Laporan Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Gramedia. hlm.163.
Mulder, Niels. 1981. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Renier, G.J.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.113.
Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Slamet, DS. 1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Peristiwa Kepercayaan. Depdikbud.
Subagya, Rahmat. 1987. Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar